11

983 27 0
                                    

Elang memasuki kamarnya, setelah sampai di rumah. Garis bibirnya senantiasa melengkung. Merasakan kehangatan dalam dadanya. Ketika dia akan beranjak ke kamar mandi. Terdengar dering telpon, yang lagi-lagi menginterupsi kegiatannya. Mendengus, lalu beralih mendekat ke sisi nakas. Melihat notifikasi dalam ponselnya. Beralih ke riwayat panggilan, sebelah alisnya naik. Menatap malas sebaris nama yang terus mengganggunya. Meletakkan ponsel tersebut, dia sudah memblokir nama itu.

Menuju kamar mandi. Elang sudah tidak sabar mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Karena badannya butuh didinginkan. Menikmati setiap guyuran air yang menyugar rambutnya. Mungkinkah nanti dia bisa mandi bersama Ara. Tanya Elang dalam hati. pikirannya sudah melayang disaat seperti ini. Menyudahi kegiatan mandinya. Kini dia sedang berkaca, sambil mengeringkan rambutnya. Tubuhnya hanya ditutupi handuk sebatas pinggang.

Dia seakan dapat melihat pantulan mata jernih Ara. Mengerjab polos, dengan poni yang sedikit menutupi matanya.

"Hah," menghembuskan napas lelah. Baru beberapa menit yang lalu dia berpisah dari Ara. Dan sekarang sudah timbul rindu di hatinya. Kau harus mengikatnya dulu Lang. Bisikan dalam hatinya menimpali. Ikut merespon apa yang dirasakan hatinya.

.

Elang tengah memantau pekerjaannya. Ketika ponselnya kembali berdering. Menampilkan sebaris angka yang tidak dia ketahui. Membiarkan panggilan itu berlalu. Elang kembali larut dalam tugasnya. Dia harus menyelesaikan pekerjaannya ini. Jika tetap ingin menadapatkan waktu berdua bersama Ara.

Tanpa dia sadari, Ara seakan menjadi prioritas dalam hidup Elang. Menyingkirkan beberapa orang yang sebelumnya pernah mengisi waktunya.

Karena kesal oleh panggilan yang terus berbunyi. Elang menyerah dengan mengangkat panggilan tersebut.

"Lang," panggil suara dari sebrang sana.

"Hem, kenapa?" Balas Elang datar.

"Gue kangen nih," jawab gadis itu manja.

Elang menaikkan salah satu alisnya. Merasa hal yang dia lakukan hanya membuang waktu. "Lo cuma mau bilang itu," jawab Elang datar. Tampak tak berminat melanjutkan pembicaraan.

"Di apartemen lo gimana?" Tanya suara to the point.

Sadar dengan arah pembicaraan gadis itu. Elang semakin datar. Dia sudah akan menutup panggilan. Jika saja suara centil itu, tidak berkata kembali.

"Besok pulang sekolah, gue tunggu di apartemen lo," tukas gadis tersebut. Lalu sambungan terputus. Elang menatap ponselnya sekilas lalu menyandarkan punggungnya.

Itu hanya sebuah kesepakatan. Siapapun itu tidak berhak mengaturnya. Mereka hanya terhubung dalam satu kesepakatan. Ada yang janggal, dia sudah mengantisipasi itu.

Menatap lurus kedepan. Pikirannya melayang pada saat sebelum tawuran terjadi. Sebelum peristiwa itu mempertemukannya dengan sang bidadari, Ara. Mereka melakukannya disudut sepi perpustakaan. Lebih tepatnya dia membantu gadis itu. Padahal, seharusnya bukan Elang yang ada dalam posisi tersebut. Dia tahu itu rencana Radit. Tapi dia tidak bisa, tiba-tiba membuat keributan. Jika seorang gadis, sudah dalam keadaan tanpa busana.

Ini kesalahan, batinnya. Meraih ponselnya. Elang harus meluruskan ini. Dengan keadaan dibawah sadar. Dia tidak bisa berpikir jernih sepenuhnya. Sadar jika pergaulannya memang tidak bisa dikatakan baik.

Radit

Lo harus lurusin kejadian waktu itu. Besok siang di apartemen.

FOREVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang