10

1.2K 33 2
                                    

Mengakhiri ciuman tersebut perlahan. Elang mengamati pipi Ara yang memerah malu. Sungguh menggemaskan, batin Elang. Mengusap pipi cabi Ara lembut. Sedangkan gadis dihadapannya itu masih sibuk mengatur napas. Pelan dan teratur, Ara mulai membalas tatapan Elang. Kegugupan sebelumnya entah sudah melayang kemana. Digantikan oleh suasana hangat diantara mereka. Walau keduanya belum ada yang mengeluarkan suara. Elang menganggap, Ara tidak keberatan dengan semua kontak fisik yang dia lakukan.

Melarikan tatapan ke arah lain. Ara kembali mencoba fokus pada materi yang mereka bahas. Tapi itu seperti tidak lagi menarik bagi Elang. Karena yang dia pikirkan saat ini adalah. Jawaban atau tanggapan Ara, dari pernyataan yang dia utarakan.

"Ra..," panggil Elang. Meraih sisi wajah Ara. Agar beralih melihatnya.

Elang mencari sesuatu dalam tatapan Ara. Tapi yang terlihat, hanya rasa gugup yang terlalu kentara. Membuat atmosfer kaku dan serba salah dari diri gadis itu.

"Kamu gugup?" Tanya Elang memastikan.

Ara dalam hati hanya mengumpat. Atas pertanyaan yang diajukan Elang. Dia dengan jelas mengerti jika Ara sekarang tengah gugup. Hal itu semakin membuat pipi cabi Ara merona. Antara kesal dan malu menjadi satu.

Senyum tipis, tampak digaris bibir Elang. Yang segera tersamarkan oleh ekspresi wajahnya. Kedua tangannya meraih jemari Ara untuk digenggam.

"Kamu dengarkan, apa yang aku katakan tadi Ra," kata Elang mengingatkan. Ara hanya terus menatap ke arah jemarinya yang digenggam Elang. Terasa pas dan hangat, batin Ara.

Mendengar itu, Ara mengalihkan pandagan. Dia jelas tahu apa yang dimaksud oleh Elang. Tapi Ara bingung dengan apa yang dia rasakan. Semua ini terlalu mendadak untuknya. Bagai kaset yang berputar, bahkan Ara tak mengira. Jika akan dipertemukan oleh pemuda didepannya ini. Sejauh yang dia tahu, sikap yang ditunjukkan Elang. Sudah layaknya seorang kekasih bagi Ara.

"Aku tak butuh jawaban darimu. Aku hanya ingin kamu tahu. Bahwa seperti itu perasaanku padamu Ra," jelas Elang tegas. Kembali memperlihatkan sifat pemaksanya. Yang dihafal oleh Ara. "Dari awal kamu sudah membalas ciumanku. Itu artinya, kamu juga punya rasa yang sama kan?" Tanya Elang. Yang diperhatikan Ara dengan seksama.

Kalau tidak butuh jawaban. Kenapa dia harus memastikannya lagi, rapal Ara dalam hati. Menatap datar saja ke arah Elang.

"Aku anggap diammu adalah persetujuan," ucap Elang. Melihat Ara tak membuka mulut sama sekali.

Ara melepaskan genggaman tersebut. Bergerak membereskan soal beserta alat tulisnya. Tak mempedulikan Elang yang mengamati dengan pandangan bertanya.

Menghela napas pelan. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah. Timbangnya dalam hati. Mencekal pergelangan tangan Ara. Menghentikan aktivas berberes gadis itu.

"Aku tidak memberikan pilihan untuk menolak. Dari awal sudah aku katakan. Jika kamu adalah kekasihku," ujar Elang tanpa mau disanggah.

Menatap sengit Elang. Ara sudah lelah. Diakhir kegiatannya masih harus menghadapi orang seperti Elang.

"Aku mau pulang," ujar Ara sudah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ara tidak ingin kembali menangis atau terlihat emosi didepan Elang.

"Kenapa terburu-buru. Bahkan, kamu belum menjelaskan hasil belajar secara tuntas," kata Elang menuntut. Membuat Ara seakan kehilangan stok kesabaran.

Mengatur napas sebelum berucap. "Kamu yang dari tadi menyela kegiatan belajar ini. Aku bahkan sudah berusaha fokus," balas Ara. Yang suaranya terdengar semakin lemah.

FOREVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang