22. Lebih Baik

7 3 0
                                    

Di taman rumah sakit, terdapat seorang wanita paruh baya yang mengenakan kerudung berwarna maroon. Dia duduk dipangku taman sambil menatap lurus kedepan. Sesekali ia membuang nafas gusar. Dia sedang bimbang antara mau masuk kekamar inap anaknya atau tetap berada disini.

"Ranti.." panggil seseorang dari belakang punggungnya. Dia menoleh lalu tersenyum melihat Budi suaminya jalan mendekat kearahnya.

"Kenapa kamu disini?" Tanya pak Budi berdiri di sampingnya. "Aku, cuma ingin mencari udara segar" sahut buk Ranti mamanya Asyima. Pak Budi diam menatap dalam mata istrinya tersebut.

Terlihat jelas luka lama yang tersirat dalam kedua bola mata itu. "Apa kamu masih marah kepada mami dan papi aku?" Tanya pak Budi lagi, lalu duduk dipangku kosong disebelah buk Ranti.

Buk Ranti menggelengkan kepala "Dari dulu aku tidak pernah marah sama mereka mas, cuma aku masih takut jika mereka akan marah dan akan berupaya untuk memisahkan kita" sahut buk Ranti lesu.

Beberapa tahun silam...

Ranti adalah seorang gadis yang tinggal di panti asuhan. Karena dia yang paling besar, dia merasa punya tanggung jawab untuk menghidupi adik-adiknya yang lain. Oleh karena itu, dia rela kerja keras hanya untuk adik-adiknya makan.

Suatu hari, dia melamar kerja di sebuah perusahaan swasta. Diterima menjadi operator, beruntung karena mengingat dia hanya lulusan SMA. Dan disinilah kisah cintanya dan William Shakespeare, yang sekarang dikenal sebagai Budi Santoso dimulai.

William adalah CEO perusahaan tersebut, dia berasal dari keluarga kaya raya di Singapura. Dia merasa kagum dengan kegigihan Ranti dalam bekerja.

Dia juga menyukai sikap gadis tersebut yang terlihat biasa saja kepadanya, bukan seperti wanita-wanita lain yang gencar mengejarnya. Akhirnya dia mencari semua informasi tentang Ranti.

Dia semakin terkagum-kagum saat mengetahui Ranti bekerja bukan hanya untuk dirinya saja, namun juga untuk anak-anak di panti asuhan. Lama dia memendam perasaan sukanya, karena mengingat mereka yang juga berbeda keyakinan.

Sebenarnya sejak umur 15 tahun, Wiliam sudah berniat hendak pindah agama, namun di larang oleh kedua orang tuanya. Semakin lama, semakin dia tidak bisa menahan rasa cinta yang begitu besar kepada Ranti.

Akhirnya dia melamar gadis tersebut, berpindah agama lalu menikahinya dan mengganti nama menjadi Budi Santoso. Dia akan menerima semua frekuensi yang akan terjadi kedepannya.

Budi juga berjanji akan menjaga dan mencintai Ranti segenap jiwa raganya, ia tidak akan berpaling apa pun yang akan terjadi.

Berita tersebut pun sampai kepada kedua orang tuanya, mereka marah besar dan menyuruh Budi untuk meninggalkan Ranti, jika tidak dia akan di usir dari keluarganya dan tidak akan diberikan sepeserpun harta kekayaan.

Namun, cintanya pada Allah dan Ranti lebih besar dari pada cintanya kepada harta. Dia rela meninggalkan semua kekayaannya hanya untuk hidup sederhana bersama Ranti.

Tidak pernah sedikit pun dia menyesali pilihannya. Karena Allah, hidupnya bersama Ranti sangat harmonis dan bahagia.

"Lihat aku" pinta pak Budi memegang bahu buk Ranti. Wanita itu pun mengangkat wajahnya menatap bola mata suaminya itu. "Tidak ada yang perlu kamu takutkan, karena aku akan selalu ada untuk kamu. Coba lihat, mami dan papi sudah berubah bahkan mereka mualaf untuk kita" ucap pak Budi menatap lembut surai istrinya itu.

Buk Ranti masih menatap lekat mata pak Budi tanpa minat mengalihkannya. Dia akan membuang sedikit demi sedikit semua rasa takut tersebut. Dia juga akan belajar menerima apapun yang akan terjadi kedepannya, karena itu semua adalah takdir.

***

Sedangkan Kabir dan Asyim, berjalan menyusuri jalan untuk pulang. Kabir jalan didepan diikuti Asyima dibelakangnya. Tidak ada pilihan lain, mereka tidak mungkin bermalam di dalam mobil, mengingat tempat tersebut sangat sunyi.

Tadi saat Kabir hendak menelepon orang dirumah nya, tiba-tiba saja ponsel Asyima mati kehabisan daya. Jadi mereka sepakat untuk berjalan kaki saja hingga sampai kerumah.

Asyima berjalan tertatih-tatih mencoba mengikuti langkah lebar Kabir. Beberapa kali dia memegang pergelangan kakinya menahan kebas yang menjalar.

Tiba-tiba saja Kabir berhenti dan berjongkok di depannya. "Kenapa kamu berhenti, apa kamu kelelahan?" Tanya Asyima.

Kabir menggelengkan kepalanya lalu menepuk bahunya "Ayo naik" ucapnya membuat Asyima bingung. "Ayo cepat" ucapannya lagi.

"Apa kamu menyuruh ku naik keatas punggung kamu?" Tanya Asyima ragu-ragu. "Iya, ayo cepat naik".

"Tapi-" ucapan Asyima terpotong karena Kabir menarik tangannya hingga Asyima jatuh begitu saja keatas punggung Kabir. Setelah memastikan Asyima bersandar dengan sempurna. Perlahan-lahan Kabir bangkit. Dia tersenyum saat merasakan jantung Asyima yang berdetak kencang.

"Ka-kabir biar a-ku jalan sendiri" ucap Asyima terbata-bata, ia melingkarkan tangannya di leher Kabir karena takut jika nanti jatuh. "Enggak" sahut Kabir cepat.
"Tapi, aku-".

"Jika kamu tidak ingin aku marah, lebih baik jangan membantah" potong Kabir yang mampu membungkam mulut Asyima. "Aku berat ya?"

"Lumayan".

"Jika kamu tidak sanggup lagi, turunkan aku ya?".

"Gak mau" jawab Kabir cepat. Mereka berdua pun terdiam untuk beberapa saat.

"Kabir kamu tau!" Lirih Asyima.

"Gak".

"Sebenarnya aku mengalami amnesia" ujar Asyima menghentikan langkah Kabir. Tiba-tiba saja ingatannya kembali berputar ke masa lalu yang membuat perasaannya tidak enak.

"Kenapa berhenti! Apa kamu kelelahan? Kalau begitu aku turun saja". Kabir berdehem dan menetralkan perasaannya kembali. "Bukan" balasnya melanjutkan langkahnya.

"Apa kamu tau apa penyebabnya?" Tanya Kabir menahan rasa sakit yang tersemat di dadanya. "Tidak, aku tidak bisa ingat apa-apa. Ayah dan mama melarang keras aku untuk mengingat semuanya" jawab Asyima lesu.

"Lebih baik seperti itu" lirih Kabir yang masih bisa didengar oleh Asyima. "Tapi, aku sangat ingin mengingat semuanya, karena selama ini seperti ada sesuatu yang hilang dari diriku.

Terkadang, disaat aku merasa kesepian atau sedih, muncul bayang-bayang seseorang untuk menyemangati ku. Namun aku tidak tau dia siapa, mengapa bisa muncul dikepala ku" jelas Asyima.

"Aku mengenal bayang-bayang seseorang itu. Jika memang ini untuk kebaikan semuanya, lebih baik kamu tidak mengenalnya. Walaupun terasa sakit karena kamu melupakannya yang telah mempertaruhkan nyawanya dan dia pergi meninggalkan aku dalam kesendirian" batin Kabir menahan air matanya agar tidak jatuh, karena menahan rasa rindu kepada orang yang kini berada dunia.

"Apa kamu bahagia sekarang, melihat aku yang sudah dekat dengannya. Melihat aku sakit saat dia melupakan mu yang telah mempertaruhkan nyawa. Jika memang ini yang kamu inginkan, maka aku akan coba bertahan" Kabir tersenyum pahit mengingat kembali permintaan orang yang sangat disayanginya.

"Kamu tau Kabir, ada rasa bersalah yang muncul saat pertama kali aku membuka mata dan melihat tatapan orang-orang yang ditunjukkan kepadaku saat aku sadar dirumah sakit. Salah satunya Aya, terlihat jelas tatapan benci, kecewa, dan rindu darinya ditunjukkan padaku".

"Menurut aku, sebaiknya kamu tidak perlu mengingat lagi. Karena itu hanya masa lalu" ujar Kabir menetralkan perasaannya sendiri. "Aku mau tanya! Apa kamu kenal Ivan?" Tanya Kabir mengalihkan pembicaraan.

"Ivan, iya aku mengenalnya?"

"Ternyata yang menjebak kita adalah dia" aku Kabir menghentikan langkahnya, karena Asyima melonggarkan pelukan dilehernya. "Kenapa? Apa yang kamu pikirkan!".

"Bukan apa-apa, hanya saja aku penasaran kenapa dia melakukan itu. Apa salah kita!".

"Tidak ada orang yang benar-benar baik. Kadang orang yang kita kenal sebagai orang baik-baik, ternyata memiliki perasaan benci dan dendam terhadap kita. Jadi harus hati-hati" jelas Kabir melanjutkan kembali langkahnya. Mereka berdua membicarakan perihal Ivan hingga sampai kerumah.

Bersambung...

Tidak akan terlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang