21. Waktu yang Tepat untuk Berpisah

80.9K 18.1K 5.9K
                                    

Seandainya aku punya kunci menuju dunia lain
Aku akan membawamu ke sana
Akan aku jadikan kamu ratu yang bahagia di sana
Sayangnya, aku bukan siapa-siapa
Aku tidak punya apa-apa, Sayang

○○○》♡♡♡《○○○

Nana tersenyum lebar ketika ia membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Jaya beberapa menit yang lalu. Isinya cukup sederhana, "Mas Nana, maaf ya... kemarin aku ambil 2 ciki dari tasnya Mas Nana. Uangnya udah aku ganti kok, ada di saku paling kecil tasnya Mas Nana. Thank you." Dan ketika Nana membuka bagian paling kecil dalam tasnya, ia menemukan uang seribu rupiah yang bentuknya sudah cukup lusuh. Lalu hanya dengan begitu saja, ia tergelak bukan main.

Hari sudah cukup petang kala itu. Walau di beberapa sudut, warna jingga masih nampak kontras. Bintang-bintang mulai muncul satu per satu. Meski yang paling terang di sana hanyalah lampu-lampu panggung. Dan di sampingnya, Nana duduk sendirian.

Laki-laki itu cukup kelelahan hari ini. Untuk itu ia duduk di sana, untuk menikmati setidaknya satu botol air dan segarnya angin menjelang malam--sebelum acara resmi dimulai dan dia kembali berkutat pada sibuknya acara. Bahkan untuk sesaat, kepalanya terasa seperti ingi pecah. Tapi ketika ia membuka ponsel dan menemukan satu bubble chat dari adik bungsunya, sakit kepalanya hilang seketika. Bahkan ia memperhatikan permukaan uang seribu rupiah itu begitu lama. Hanya untuk kembali tergelak sebab ia merasa... itu cukup lucu. Sebenarnya tidak juga sih. Hanya saja, karena yang melakukannya adalah seorang Kin Dhananjaya, maka itu menjadi sangat lucu. Kalau yang melakukan itu Jovan atau Cetta, mungkin dia akan mengamuk sejadi-jadinya. Tapi karena orang itu adalah Jaya, maka semuanya bisa dengan mudah termaafkan.

"Din, guest starnya udah datang. Barusan udah gue briefing juga buat susunan acaranya, terus konsumsinya juga udah siap semua. Habis adzan maghrib, kita opening."

Nana mendongak, dan ia menemukan Lestari berdiri persis di hadapannya. Dengan rambut panjangnya yang berantakan, juga kaos putihnya yang terlihat basah. Bagian depannya bahkan berwarna coklat pudar, seperti habis ketumpahan kopi atau minuman dengan warna yang sama.

"Lo kenapa?" Tanyanya. Karena terus terang dia tidak tahan melihat betapa berantakannya Lestari sore ini.

"Oh, ini.." gadis itu terkekeh. "Biasa, si Yanto sama Danu lagi main-main. Terus kopinya si Yanto nggak sengaja kena gue. It's okay, entar juga kering kalau kena angin."

Karena dia adalah Adinata Aileen Caesar, ia tidak bisa untuk tidak peduli. Maka setelah menarik napas panjang, laki-laki itu berdiri. Ia melepaskan jaketnya dan mengangsurkannya pada Lestari. Walau tidak dipungkiri bahwa dia juga cukup kedinginan dengan cuaca menjelang malam saat itu.

"Eh, nggak usah."

"Pakai aja sih, entar lo masuk angin."

"Beneran nggak pa-pa gue mah. Ini juga udah mau kering kena angin, Adin." Yang perempuan masih bersikeras menolak. Bahkan dia menjadi sangsi sebab beberapa orang mulai memperhatikan perdebatan mereka.

"Iya, emang kering. Abis itu lo sekalian sekalian meriang gara-gara masuk angin." Akhirnya, Nana menyampirkan jaketnya di atas pundak Lestari. Sedikit berdecak karena ia mulai jengkel dengan keras kepalanya gadis itu.

Sementara Lestari, ia tidak punya pilihan lain selain menarik napas panjang dan memakai jaket itu hingga zippernya menutupi bagian kaosnya yang kotor. Sampai akhirnya ia tertegun. Perpaduan wangi peach dan jenis buah berry yang segar. Bahkan Lestari merasa, wangi ini terlalu lembut untuk Nana yang notabene laki-laki. Tapi entah kenapa, gadis itu justru merasa bahwa Nana cukup cocok dengan wangi ini.

"Eh, ngomong-ngomong, kita masih punya 15 menit lagi kan ya? Gue ijin keluar bentar ya? Nggak pa-pa kan kalau lo sama anak-anak gue tinggal bentar?" Setelah menengok jam tangannya, Nana mendongak. Menatap persis di sepasang mata Lestari. "Sebelum acara mulai, gue udah di sini lagi."

Narasi, 2021✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang