Ruas jalan ini bukan dipadati kendaraan
Melainkan kenangan tentangmu***
Selama ini, Jalan Otto Iskandardinata dikenal sebagai jalan yang cukup padat karena berdekatan dengan Cawang dan Terminal Kampung Melayu.
Mungkin jika setiap manusia punya rekam jejak kemana dia sering pergi, Otista akan jadi tempat yang paling sering Nana datangi. Di daerah Jatinegara, ada sebuah bengkel langganan Jovan. Beberapa kali Nana pernah nongrong di sana. Tapi karena kebanyakan di sana adalah manusia sejenis Jovan alias kaum don juan tampang kriminal, Nana lebih suka di sini. Di sebuah jembatan penyebrangan depan MTH Square.
Tidak ada kegiatan khusus yang ia lakukan di sana. Mungkin sesekali dia akan memotret kepadatan arus lalu lintas yang terjadi di bawahnya, atau sekadar mengamati bagaimana pengendara motor melanggar aturan dengan menerobos lajur busway. Jika ada operasi, beberapa pengendara saling bahu-membahu mengangkat motor mereka untuk kembali ke jalur yang benar.
Tapi lebih dari padatnya Otista, cerita yang pernah terjadi di tempat ini lebih berharga dibanding segalanya.
"Kayaknya gue tuh sering banget lihat lo di sini."
Nana menoleh cepat, dan dia terkejut bukan main saat menemukan Lestari berjalan ke arahnya. Menenteng sebuah tas gitar dengan seulas senyum tipis. "Gue pikir awalnya lo cuma nyebrang kayak orang-orang. Tapi setelah gue perhatiin, ternyata lo berhenti di sini cukup lama. Lo tuh sebenernya ngapain sih?"
Di sebelahnya, Nana masih terdiam. Laki-laki itu masih tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan Lestari di sini. Apalagi penampilan gadis itu tidak seperti biasanya. Alih-alih kemeja flanel dengan setelan jeans dan sepatu converse, hari ini Lestari kelihatan cantik dengan short dress bahan sifon berwarna merah jambu. Rambutnya tidak dikuncir seperti biasanya ketika dia pergi ke kampus. Hari ini rambut panjangnya dibiarkan terurai dengan jepit rambut strawberry di bagian kanan.
"Nggak ngapa-ngapain." jawab Nana, bingung harus menjawab apa lagi.
Menemukan jawaban super singkat itu, Lestari hanya bisa menarik napas rendah. Kemudian ia menyandarkan gitarnya pada pagar pembatas, menopangkan lengannya di atas teralis dan memandang objek yang saat ini sedang di potret oleh Nana.
Lestari tidak tahu apakah kehadirannya mengganggu atau tidak. Tapi karena bermenit-menit ia berada di sana Nana tidak mengatakan apa-apa, Lestari menganggap bahwa laki-laki itu sama sekali tidak keberatan.
"Lo foto apa sih?"
"Apa aja."
"Lo suka fotografi ya?"
"Lumayan."
Lumayan.. Lestari mengangguk samar-samar. Padahal dari apa yang gadis itu amati selama ini, fotografi bukan sekadar lumayan bagi Nana. Laki-laki itu seolah-olah membentuk dunianya sendiri saat sedang bersama kamera. Caranya melihat objek, caranya membidik, caranya melihat hasil dalam kameranya, Lestari selalu melihat bahwa fotografi pasti memiliki peran penting dalam hidup Nana.
"Ternyata berita itu bener ya?" sama seperti sebelumnya, Lestari kembali mengawali pembicaraan.
"Berita apa?"
"Kalau lo pacaran sama Gayatri Mandanu." jawab Lestari. Nana yang semula hendak memotret bapak-bapak penjual donat kentang tiba-tiba saja menurunkan kameranya. Laki-laki itu menoleh ke samping, hanya untuk menemukan Lestari balik menatapnya dengan senyum tipis. "Dulu pernah ada gosip, katanya lo pacaran sama Gayatri. Akhirnya kabar itu dibilang hoax soalnya kalian sama-sama nggak pernah posting foto bareng. Nggak saling follow di sosial media juga. Tapi setelah lihat dia nyamperin lo ke kampus kayak kemarin, kayaknya berita itu bener ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi, 2021✔
Romance[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA Bulan juni datang lagi. Padahal sisa-sisa juni tahun lalu belum sepenuhnya selesai. Beberapa sedih dan sesal masih tertinggal dan membekas dengan baik. Tapi setiap kali Nana mendongak dan menatap langit yan...