Katamu kamu cinta
Tapi kamu tidak selalu ada
Bilangmu kamu sayang
Nyatanya aku hanya jadi bayang-bayang○○○》♡♡♡《○○○
"MANA YANG NAMANYA ARGA?!!! KELUAR LO!!!"
Di suatu siang menjelang jam makan siang, Nana dengan spontanitas membuka pintu sekretariat dengan pandangan mata nyalang. Beberapa anggota yang ada di dalamnya terpaksa mengurut dada karena nyaris mendapati jantung mereka jatuh mengenaskan di lantai.
"Adin! Lo apa-apaan sih? Dateng-dateng kayak babi mabok aja lo. Kenapa?" gadis berkuncir kuda itu bangkit tak kalah nyalang--Lestari namanya. Biasa dipanggil Tari. Agaknya gadis itu tidak terima atas kegaduhan yang baru saja dibuat Nana di tengah-tengah tidur siangnya.
"Gue nanya, dimana Arga?!" laki-lako itu masih berapi-api.
"Lo bisa nanya baik-baik. Nggak pakai nyolot ya."
"Gue nggak akan nyolot kalau apa yang dia kerjain bener!" laki-laki berkemeja abu-abu itu membanting 1 bendel pamflet di atas meja.
Orang-orang yang ada di sana, termasuk gadis tomboi bernama Lestari itu turut mendekat. Sepertinya kini mereka paham kenapa Nana sampai datang seperti orang kesetanan.
"Mana tuh anak? Mau gue pelintir lehernya." Nana benar-benar habis kesabaran.
Sementara beberapa orang yang ada di sana malah terkikik geli. Apa yang dilakukan Arga sepertinya wajar membuat Nana marah. Ah, bukan hanya Nana, tapi sebenarnya mereka juga ingin marah. Tapi apa yang dilakukan Arga seperti sebuah lelucon paling lucu yang pernah ada.
"SEMLEKOOOOM!!"
Pucuk dicinta, Arga datang tidak lama kemudian. Seperti biasa, anak itu memperlihatkan gigi menterengnya dan melambai bak artis ternama ibu kota.
"Halo, Pak Ketua! Tumben nih pada ngumpul. Menyambut diriku yaaaaa?"
"Siap-siap digorok Adin lu." salah satu di antara mereka yang bernama Danu terkekeh kecil. Sempat menepuk pundak Arga sebelum laki-laki itu melangkah ke luar pintu.
"Lu beneran mau gorok gue?" Arga mundur beberapa langkah untuk bertedeng di balik punggung Lestari. Membuat gadis itu turut kepanasan. Arga memang pantas digorok! Mungkin kalau bukan Adin, dialah yang akan melakukannya.
"Lo lihat ini! Kenapa ada nama sama foto Via Vallen di sini?!"
"Apa yang salah? Bukannya kita emang mau ngundang Via Vallen ya?" laki-laki yang mengenakan topi berbentuk rubah itu nampak terheran-heran.
Sementara di hadapan Arga, Lestari menarik napas dalam-dalam. Gadis itu melotot tajam pada sosok Arga yang kini turut bergidik menatapnya.
"Siapa bilang kita bakalan ngundang Via Vallen?!!" tanya Nana, ia murka.
"Lah? Kemarin pas rapat, kan--jadi gue beneran mimpi ya? Kita nggak ngundang Via Vallen??"
"Kita sepakatnya ngundang Nadin Amizah Argaaa! Bukan Via Vallen!!" kali ini Nana memekik. Karena dia tidak bisa meremas wajah tak berdosa Arga, akhirnya ia hanya bisa meremas udara.
"Terus ini gimana?" dan anak itu masih saja bertanya dengan suara rendah yang terdengar seperti--jadi ini aku yang salah?
"GUE NGGAK MAU TAHU, LO HAPUS ITU VIA VALLEN DAN LO CETAK ULANG! SE-KA-RANG!!!"
Tubuh Arga terlonjak. Setahun lebih ia mengenal Adinata, baru kali ini ia menemukan laki-laki itu semarah ini. Sekesal apapun Adin, biasanya dia hanya akan menghela napas panjang tanpa banyak bicara. Kalau batas kemarahannya terlalu tinggi, ia akan berlalu dan menyendiri ke tempat-tempat sepi. Tapi siang itu, mata Adin terbelalak. Urat-urat di lehernya kelihatan semakin jelas saat laki-laki itu berbicara dengan nada memburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi, 2021✔
Romance[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA Bulan juni datang lagi. Padahal sisa-sisa juni tahun lalu belum sepenuhnya selesai. Beberapa sedih dan sesal masih tertinggal dan membekas dengan baik. Tapi setiap kali Nana mendongak dan menatap langit yan...