PINDAH

46 21 4
                                    

"DETAAAYYAAA!!! Lama banget, sih! Astagaa, nih anak bukannya turun, malah asik rebahan. Mama tinggal juga, daritadi gak turun-turun," teriakan Anti kembali terdengar setelah sepuluh menit lalu meneriakkan kata yang sama.

Anti memijit pelan keningnya mencoba bersabar dengan tingkah anak keduanya itu. Sedangkan Mitha si bungsu, di sampingnya tampak tenang memutar rubik tanpa peduli teriakan mamanya.

Hentakan kasar sepatu converse biru diiringi bantingan pintu membuat Vierro yang sedang berusaha menyeret koper berjengit kaget. Tangan kirinya sibuk memasang headphone, sedangkan tangan kanannya yang memegang koper berusaha memaksa roti masuk ke mulutnya. Bisa dibayangkan betapa ribetnya Vierro. "Apaan sih, Dek? Mentang-mentang mau pindah, main banting pintu segala. Banyak duit buat ganti pintu?"

Sang pelaku yang membanting pintu menatap tak senang ke arah Vierro. Yah, seperti yang kita tau, dia Tris.

"Terserah Tris lah, Bang. Kan Tris banting pintu, bukan banting Abang."

"Sok-sokan aja pake acara banting gue. Mau kualat, pindah tuh mata ke kaki?"

"Enggak perlu, Bang. Kaki Tris udah punya mata dan gak minus, jadi Abang gak perlu buang-buang tenaga mindahin mata Tris ke kaki. Lagian kalo Abang mau mindahin mata Tris ke kaki, berarti aku pinjem mata Abang aja, ya? Mata Abang kan banyak," kata Tris santai mengikat rambutnya.

Vierro membetulkan letak kacamatanya dan menatap Tris tajam. "Maksudnya lo ngehina gue, Dek? Mata gue ada empat, gitu? Itu mau lo, kan?"

"Abang yang ngomong, bukan Tris."

"Iya gue yang ngomong barusan, pintu lo aja denger," ucap Vierro kesal.

"Punya abang kok baperan."

"Punya adek kok ngeselin."

Tris menarik kopernya dan menyenggol koper Vierro dengan kasar membuat roti Vierro jatuh terlempar. Vierro sempat terdiam dengan mulut terbuka. Detik berikutnya Vierro berteriak kesal.

"Waah, ni bocah daritadi nyari rusuh mulu. Untung abang nih sebagai calon mantu bupati dikaruniai hati yang sabar. Keluar aja dari KK, Tris. Capek punya adek gak ada akhlak. Kualat sama abang sendiri mampus, Dek. Mending melihara nyamuk aja gue, kalo bandel tinggal dimatiin. "

Tris  diam tak menanggapi perkataan Vierro dan memilih menjatuhkan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Anti. Kemudian membaringkan kepalanya di bahu sang mama.

"Astaga, kalian kenapa sih? Berantem aja kerjaannya. Pusing Mama liatnya. Vierro, sekalian bawa koper adek kamu ke mobil."

"Siapa adeknya Vierro, Ma? Kopernya Mitha kan udah dibawa ke mobil Mama," tanya Vierro dengan wajah bingung.

"Aduuh, Vierro," Anti tidak dapat menahan untuk tidak menepuk kening. "Tris kan adek kamu juga, sekalian kamu bawain kopernya."

"Vierro gak punya adek kayak Tris, Ma," protes Vierro. "Mama enggak tau aja, roti Vierro ditabrak koper gilanya itu. Pantesan aja cowok enggak ada yang mau mampir ke rumah, tiap mau ke rumah udah di bantai duluan dari Tris," suara Vierro meninggi.

Dia masih tidak terima rotinya jatuh. Padahal itu roti selai kacang favoritnya dan itu adalah roti terakhir. Sebenarnya satu roti tidak cukup untuk mengganjal perut, apalagi tadi Vierro hanya memakan setengah sebelum rotinya berakhir mengenaskan di depan kamar Tris.

Anti mengerutkan dahi mendengar pembelaan putranya. "Pabrik roti belum tutup, Bang. Lagian apa hubungannya roti jatuh sama cowok, Bang? Cepat bawa koper adek kamu!"

"Adalah, Ma. Semua tindakan Tris tuh berhubungan sama ada atau enggaknya cowok main ke rumah."

"Vierro!"

Trist (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang