Arah Rasa

18 0 0
                                    

Nadir mulai mengemasi barang-barangnya, bersiap pindah tugas. entah benar atau tidak tentang keputusannya ini, tapi Nadir tetap nekat pindah. ada yang harus ia ubah. yang pasti hanya ia, pikirannya dan Tuhan yang tahu maksud dari penyebab Nadir pindah tugas. Ia liat kembali smartphone nya, sudah berkali-kali panggilannya tak terjawab dari Witya. sedikit cemas tapi sudahlah sudah saja. semoga Witya baik-baik saja, do'anya. 

Koper berukuran besar telah dibawanya. ia tatap tubuhnya sekali lagi di depan cermin. ia rapihkan rambutnya sekali lagi. helaan nafas itu dihembuskannya lagi. entah beban berat yang keberapa yang ia pikul saat ini. " aku bisa, aku harus bisa". Nadir menguatkan dirinya sekali lagi.

Nadir memasukkan koper dan perlengkapan lainnya ke dalam taxi online yang sudah ia pesan beberapa menit yang lalu. sebelum menuju stasiun, ia hendak berpamitan dengan ibunya terlebih dahulu di Rumah Sakit Jiwa. 

sesampainya disana, ia tak kuasa menahan tangisnya. sudah lama ia ingin dipeluk ibunya seperti anak yang lain. ingin dibuatkan sarapan setiap pagi. ingin diomeli ketika dirinya ketahuan nakal pulang telat selepas maghrib. ingin mencium tangan ibunya setiap ia hendak pamit kerja. hal-hal tersebut sudah tidak ia rasakan sejak usia 7 tahun.

"Bu, Nadir pamit ya. Nadir pindah praktik di Cirebon. Nadir engga akan lupa sama ibu, engga akan ninggalin ibu. Maaf ya bu Nadir belum bisa rawat ibu dengan baik sampai hari ini. Nadir sayang sama ibu. Nadir berharap ibu cepet sembuh ya.." ia menunduk, mencoba menahan tangisnya "...Nadir..sayaang...samaa...Ibuu..pengen peluk bu". bagaimanapun ia hanya seorang manusia biasa, anak yang biasa, ingin kehidupannya normal seperti yang lain. kini ia hanya bisa memandang ibunya dari balik bilik kamar RSJ. "berat bu Nadir nanggung semuanya sendirian...Nadir hampir engga kuat bu.." ucapnya dengan isak tangis yang tidak bisa ia hentikan.

Nadir berjalan keluar dari Rumah Sakit Jiwa. langsung menuju taxi online yang ia tumpangi tadi dan segera meluncur ke Stasiun. ia menaiki Kereta Api Kelas Eksekutif gerbong 01. setelah Nadir menemukan tempat duduknya, ia segera merapihkan barang bawaannya agar nyaman ketika perjalanan nanti. ia membuka ponselnya. beberapa pesan dan telepon masuk dari Witya dan Ahmad. ia hendak membalas, namun ada keraguan yang tak mampu ia jelaskan. akhirnya ia mengurungkan diri dan memilih untuk membuka aplikasi pemutar musik. ia memilih lagu One Ok Rock - Heartache untuk menemani perjalanan yang akan ditempuh selama 4 jam. 

***********************************************************************************************

orang yang pertama kali dibenaknya kini hanya Nadir, pria yang menemaninya menangis di lapangan ketika dunianya pertama kali hancur saat itu. ia telepon berkali-kali tak menemui jawaban. jangankan jawaban, kabar saja tidak ada. kini ia harus fokus dengan tanggung jawabanya meski dunia kini sedang tidak baik-baik saja.

" nih buat lo.." Bang Iman menyodorkan Susu Kemasan rasa coklat. "oh iya bang makasih yaaa.." Witya menerima susu pemberian dari Bang Iman dan meminumnya dengan sedikit grogi. "ah elaah wit kayak baru pertama ketemu gue aja lu pake grogi segala hahaha eh iya, pulang kantor sibuk ga?". " engga bang, kenapa?" jawab witya berusaha pasang muka ceria. " ngopi yuk depan kantor, ada cafe baru lho.. tempatnya asyik kayaknya kalo diliat dari sini" ajak Bang Iman. ia paham apa yang sedang dialami Witya. witya termenung sejenak. pandangannya kosong. "WOY JANGAN NGELAMUN!!" Bang Iman menyadarkan Witya dari lamunannya. " astaghfirullah baaang kaget ih.." nafas witya tersengal-sengal karena kaget. "ya abisnya eluu sih..gimana mau engga?". "iyaa dah ayook, bantuin aku ngetik tapi yaaa..pegel bang" pinta Witya. " deeeuuhhh, sini" Bang Iman menerima permintaan pertolongan Witya.

"wih akrab banget nih adik kakak, kalian punya rencana apa nih di belakang gue??" Mas Luthfi tiba-tiba ikut gabung.  "nimbrung aja lo!" Bang Iman melempar bolpoint ke arah Mas Luthfi. "yeeee, nongkrong yok pulang kerja" Mas Luthfi seperti tahu mereka akan ngopi bareng. rasanya tak rela jika Witya dan Bang Iman nongkrong bareng tanpa kehadirannya. Bang Iman dan Witya saling tatap. mengirimkan sinyal diskusi apakah menjawab iya atau tidak dengan alasan. Bang Iman menganggukan kepala tanda setuju. " yaudah ayok Mas Luthfi ikut, tahu aja kita mau ngopi" ucap Witya mewakili Bang Iman memberikan hasil keputusan. "yoooiii... yg berbau traktiran insting gue kuat Wit" jawab Mas Luthfi , menaik-turunkan alisnya dengan tengil. " gue sambit lo yaa!" Bang Iman melempar buku yang ada di atas meja Witya ke arah Mas Luthfi. mereka berdua seperti tikus dan kucing, dekat berantem jauh saling mencari.

Relung Paling PalungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang