Terdalam dari rasa

7 0 0
                                    


Melanjutkan perjalanan dengan membawa segala lara yang makin hari makin sesak saja. berharap mimpi buruk ini segera hilang dan seketika lupa dengan apa yang menimpanya kemarin. Ia susun kembali puing demi puing yang tlah terlanjur berhamburan. Tak menampik ia masih marah dengan guratan takdir yang kini ia hadapi. Tapi sekali lagi, tak ada yang peduli ia bisa berjalan atau tidak, bahkan waktu pun enggan menunggunya istirahat barang sejenak.

Witya susun lagi rencana-rencana hidupnya. Meski ia menyadari cepat atau lambat, ia harus menyelesaikan masalah ini dengan kedua orang tuanya. Sesekali ia memikirkan seseorang yang berusaha ia lupakan karena kini sudah ada hati yang harus dijaga. Seseorang yang mencintainya dengan penuh dan utuh. Seolah seperti ada 2 tempat yang Witya sediakan dihatinya.

Ia rela sementara harus bolak-balik Jakarta-Purwokerto demi bisa bertahan hidup, lebih terkesan memaksakan untuk tetap hidup. Adik-adik yang kini jadi prioritas utamanya, diluar kondisinya sendiri.

" Kak, di Jakarta berapa lama? kita hanya butuh nunggu aja kan?" Ucap Sastra.

" mungkin beberapa minggu, karena ada pekerjaan kakak yang terbengkalai kemarin-kemarin. Maaf ya, dek." Jawab witya sambil mengelus lembut rambut Sastra dan Aksa.

Aksa yang pendiam hanya bisa tersenyum mengantar kepergian kakaknya untuk bekerja di Jakarta. Mereka pun saling berpelukan. Seolah waktu esok khawatir tak didapatkan mereka untuk bersama lagi.

Dengan membawa beberapa tas dan bekal masakannya sendiri untuk mengisi perutnya selama perjalanan, Witya bergegas menuju stasiun Purwokerto. Diantar Nadir pastinya, tambatan hatinya kini. " Mas, padahal kamu engga usah lho nganter aku, aku bisa sendiri. Mas juga kan mesti balik ke Cirebon". Ucap Witya menatap mata Nadir dengan manja, sambil sedikit mendongak karena Nadir lebih tinggi darinya.

" Percuma aku mencintai kamu wit, kalo aku tidak bisa memastikan kamu baik-baik saja sebelum pergi. engga apa-apa kok. kini, direpotkan kamu adalah aktivitas yang sangat aku sukai. yaaa, meski awal-awal juga sih". Jawab Nadir, terkekeh kecil. Nadir menarik tubuh Witya. Dipeluknya kekasihnya itu sebelum Witya menaiki kereta tujuannya.

" hati-hati ya Wit, jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan. Jaga pola makan yang benar. Jaga hati yang rapat." Ujar Nadir sembari mengelus pipinya lembut. " bereess, Pak Dokter." Jawab Witya, memberi hormat yang tegap di depan Nadir.

Kereta tujuan Witya pun tiba. Dilambaikannya tangan itu kepada Nadir. Tanda perpisahan yang pastinya akan kembali pada peluk yang sama. Setidaknya kini, Nadir tenang. Difikirannya, Witya tak akan mungkin memikirkan lelaki itu lagi karena hatinya tlah dimiliki. Namun, yang sudah terbawa jauh perjalanan, belum terfikir demikian. Lelaki itu masih punya ruang di dalam fikir dan hatinya. Entah sampai kapan ia dapat melepaskan itu.

Berkali-kali Handphonenya berdering, dilihatnya ribuan pesan masuk dan ratusan panggilan tak terjawab. Dari Ayah dan Ibunya. Seketika ingin ia ledakan lagi amarah yang tertahan di dalam dada. Ingin ia balas, namun belum tepat waktunya. Lalu, ia alihkan pikirannya dengan membuka laptopnya dan mengerjakan beberapa pekerjaannya sebelum ia tiba di kantornya.

*******************************************************************************************

Ia terkejut dengan adegan nyata yang ada di depannya. Ada pandangan yang tak dapat ia jelaskan. kini, sudah ada lelaki yang memeluk perempuan yang di depannya. Ghya harusnya merasa senang. Namun entah mengapa, ada sesak yang terasa ketika melihat Witya dipeluk oleh Nadir. Sebagai sahabatnya, harusnya ia mengucapkan selamat dan turut berbahagia. Tapi ia tak kuasa hanya sekadar mengangkat tangan menjabat salam.

Kini ia dan Witya telah menjalani hidup masing-masing. Terpental jauh menjadi asing. Dulu sahabat begitu pekat, menjadi asing tanpa pernah saling. Ia tarik nafasnya berkali-kali, sibuk membenahi pikirannya agak tak menimbulkan reaksi buruk kepada sahabatnya. Saat hendak menyapa, ia lihat lagi Witya dikecup lembut keningnya oleh Nadir. Seakan Nadir berkata bahwa tidak boleh lagi mendekat pada Witya. Itu tak masalah baginya, ia sudah memiliki tambatan hati sendiri. Yang ia pilih sendiri, di belakang Witya.

Ia segera menaiki kereta yang akan di pimpin jalannya olehnya. Ia harus fokus pada pekerjaaanya kini. ia berniat akan menyapa Witya ketika kereta sudah sampai tujuan nanti. ia rapihkan kembali topi dinas dan bajunya. Menyapa penumpang yang lain, sembari sesekali melirik ke arah gerbong 3 sebelah kiri tubuhnya. Saat ia sedang membantu dan menyapa penumpang lain, tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang oleh seorang wanita cantik. ya, tambatan hati Ghya. Wulan Ayara. Seorang karyawan swasta dengan tubuh proporsi yang ideal. Perawakan yang mirip dengan Witya.

"Hei, sayang. kaget aku" Respon Ghya, berbalik memandang Wulan. "kamu lupa ya? kan kita janjian di stasiun ini sebelum balik ke Jakarta". Kata Wulan, memandang Ghya dengan penuh cinta. " oh, maaf ya, tadi aku buru-buru jadi engga lihat handphone. kamu hati-hati ya disana, nanti setelah selesai dinas, aku temui kamu di Jakarta". Tutur Ghya, sambil mengelus rambut Wulan dengan lembut.

" siap sayang. Semangat dinasnya ya. Aku tunggu di Jakarta". Jawab wulan. Wulan segera memasuki gerbong 3 dan duduk pada nomor kursi 3D, di depan kursi yang Witya duduki.

Waktu pemberangkatan kereta semakin dekat, tiba-tiba muncul notifikasi di Handphone Ghya. Pesan dari Ibu Witya.

From : Mamahnya Witya 

Nak Ghya, jaga Witya ya. Ibu paham dia engga mau ketemu ibu, ibu pun sedang menyusun bahasa yang baik agar Witya mengerti. Terimakasih Ghya. Sehat selalu ya.

Andai ibu Witya tahu, bahwa kini persahabatannya tengah renggang karea ulah mereka sendiri. Padahal jauh dibawah rasa dan batinnya, ada suara yang ingin berteriak agar di dengar. Namun seketika ,  ia urungkan pula.

Dengan nyali dan keberaniannya, ia mencoba untuk menelepon Witya. " Wit, hati-hati ya. pas nanti di Jakarta, aku boleh ketemu engga?". Suara di sebrang sana mengisyaratkan tanda setuju, dibuktikan anggukan dari Ghya.

Ghya menyadari bahwa ia tak boleh seperti ini, Witya tetap Witya. Sahabat dekatnya, orang terdekatnya di kala ia pernah jatuh berkali-kali. Ghya bertekad akan membantu Witya melewati masalahnya. Seruan bunyi kereta pun telah digaungkan, tanda harus segera berangkat. Ketika kakinya hendak menaiki kereta, tak sengaja ia kembali menoleh ke kiri dan ternyata mata itu bertemu. Entah isyarat apa yang mereka lontarkan, namun sejak saat itu, antara kecanggungan dan tanda tanya kembali mereka hadirkan.



Relung Paling PalungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang