щ Memory щ

68 13 4
                                    

•Music on•

Merenung itu boleh, tapi jangan
berlebihan.

Masih ada yang harus dilalui sekarang, jangan menjamin kebahagiaan dengan berpikiran andai bisa merubah masalalu semua akan baik-baik saja– dasar bodoh.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

»»————><————««

Semburat senja mulai menyapa dinginnya udara. Membaca katulistiwa yang menyebrangi pencakar langit. Mengikis usaha akan naifnya manusia-manusia yang selalu menyalahkan masa lalu. Surai hitam lelaki itu sedikit melambai, menyahut asa yang monoton dalam iris kelabunya.

Sesak, mengingat semua yang sudah ia alami. Andai saja waktu bisa diputar, setidaknya yang berdiri disini bukan dia melainkan orang itu. Melihatnya kembali tersenyum meskipun segalanya hanyalah angan palsu.

Helaan nafas memenuhi sesaknya dada yang sejak tadi ditahan, nisan batu yang mengukir nama cinta, mendayu-dayu memanggil dirinya untuk tidak pergi dari sana. Goresan air hujan meliputi pemandangan yang ada di depannya.

Sekali lagi, tak ada gunanya menyesali masa lalu. Kelam, sesak, hanya akan menjadi kenangan tak bernama. Jawabannya hanya satu, ia sangat mencintai perempuan yang sudah lama pergi meninggalkannya itu.

"Aku akan menikah besok," lirihnya hampir tidak terdengar. Tangannya mengepal kuat, agar bisa menghentikan air mata yang ingin jatuh merusak pemandangan di wajah tampannya.

Setelah itu ia kembali melanjutkan kata-katanya. "Jangan membuatku sedih dengan mengingat dirimu."

Kembali menghela nafas, akhirnya pertahanan laki-laki itu runtuh. Hanya setitik air mata berteman dengan gerimis yang menggema, menyisakan isakan tak bersuara. Untuk yang terakhir kalinya, ia akan menangisi kepergian perempuan itu sepuasnya.

Karena besok ia harus memulai lembaran baru dengan seseorang.

"Levi, sebaiknya kita kembali. Sebentar lagi hujan, aku tak mau kau sakit," ujar suara lembut yang membuatnya menoleh.

Levi memaksakan senyumannya, menarik tangan gadis itu untuk segera pergi dari sana.

"Apa kau tau dimana Mikasa, Petra?"

Gadis bersurai karamel pendek itu menjawab. "Sehabis dari makam Ibu tadi sepertinya dia pergi ke makam temannya itu."

"Lagi?" tanya Levi mengkerutkan keningnya. Petra mengangguk lemah, mengerti akan kesedihan adik iparnya itu.

"Jangan marahi dia, dia sudah besar dan berhak melakukan apa yang menurutnya benar," tegur Petra pelan. Levi mengendikkan bahunya, menatap iris hazel itu dalam.

"Huh, kita tunggu di kedai teh saja," ajak Levi disetujui oleh Petra.

Keduanya memasuki kedai yang menjadi awal kisah mereka, mengingat kejadian itu selalu mengukir senyum malu diantara mereka. Rasa berdebar tidak berkurang meskipun hati menolak suasana yang ada.

"Levi, aku tidak menyangka besok kita akan menikah," ujar Petra tiba-tiba. Tangan mungilnya sibuk membuat teh hitam untuk mereka berdua. Sedangkan Levi memutuskan untuk menyapu lantai yang sudah bersih karena kedai itu akan ditutup beberapa hari kedepan.

Mendengar penuturan Petra membuat Levi tersenyum kecil.

"Memangnya kenapa? Apa kau menunggu sesuatu? Hm?"

Sweet Tea- RivEtra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang