Artikel 15: "Tergeletak di Tangga Darurat, Candi Mahadipa Diserang?"

273 89 13
                                    

PUKUL 20.37 WIB, dan aku masih di sini. Duduk meringkuk di salah satu sudut tempat tidur sambil menekuk lutut dan menautkan jemari. Mataku terpejam. Perasaanku kacau, banget. Sumpah, saat ini aku betul-betul tak tahu harus melakukan apa. Bahkan untuk berdoa—berharap supaya Candi baik-baik saja—pun rasanya kutak sanggup.

Bingung.

Takut.

Entahlah....

Notifikasi ponselku—maksudku, ponsel lain milik Satya yang dipinjamkan padaku—berbunyi. Kali ini masuk pesan baru dari Natasha. Sekilas yang terbaca olehku adalah kabar terbaru tentang Candi, dan itu membuatku refleks membuka aplikasi Whats App untuk membaca keseluruhannya.

Natasha Devi Azalea : Hypers Crew, Candi baru keluar dari ruang operasi
                                               Mohon doanya semoga cepat pulih dan bisa beraktifitas seperti sedia kala
                                               Sekali lagi saya ingatkan, tolong insiden ini jangan sampai bocor ke luar 
                                               No WA Story, IG Story, twit, postingan IG, apa pun 
                                               Akan ada sanksi keras bagi siapa pun yang terbukti menyebarkan berita ini

Baru keluar dari ruang operasi.

Hufth.

Pesan yang diposting di group WhatsApp kantor itu langsung disambut oleh balasan doa dari teman-teman lainnya. Ada yang meng-aamiin-kan, ada yang hanya mengirim stiker, tapi ada juga yang menjawab dengan doa panjang lebar.

Aku sendiri hanya bisa menatap lesu, dan lanjut menutup aplikasi itu tanpa mengucapkan apa pun. Rasanya aku tak sanggup membaca lagi bahasan tentang kecelakaan yang menimpa Candi siang tadi. Chief editor muda itu ditemukan tergeletak di tangga darurat antara lantai dua dan tiga dengan kondisi luka berat di kepala. Office boy kantor tak sengaja menemukannya saat sedang mencari tempat untuk merokok, dan dia langsung lari tunggang langgang saat melihat ada ceceran darah di salah satu bordes—area yang sedikit lebar antara tangga naik dan tangga turun—dengan Candi berada di pusat ceceran itu.

Berita itu langsung membuat satu gedung Hype Bandung gempar dan panik—termasuk Natasha dan Satya. Aku? Saat itu seluruh tenagaku seketika menghilang. Pikiranku mendadak kosong dan kakiku tiba-tiba tak bisa berdiri tegak lagi. Untung Satya sempat menangkapku sebelum aku jatuh terduduk di lantai.

"Ayo kita pergi!" bisiknya sambil menarikku untuk berdiri. "Ayo!"

Aku tak begitu ingat bagaimana caranya hingga kami akhirnya tiba di apartemen Satya yang terletak di bilangan Cihampelas. Yang pasti, setelah kami tiba, Satya memintaku untuk diam di kamar dan jangan pergi ke mana-mana.

"Gue pergi dulu bentar," katanya tergesa. "Kunci kamar dan jangan bukain pintu buat siapa pun, termasuk gue! Gue udah bawa kunci sendiri. Oke?"

Sesaat sebelum keluar dari unit apartemennya, tiba-tiba Satya kembali lagi untuk menepuk-nepuk pipiku.

"Gue rasa lo udah paham, San. Gue cuma mau bilang, ini bukan salah lo. Oke?"

Setelah itu Satya pun berlalu, entah pergi ke mana. Sementara aku masih tetap berdiri terpaku, mencoba merenungi kata-katanya tadi.

Ini bukan salah lo.

Aku tak mengerti kenapa Satya mengatakan itu. Namun kata-katanya itu berhasil membuat air mataku meluruh turun, dan selanjutnya aku sesenggukan parah.

* * * * *

HUJAN, gumamku dalam hati; menatap kosong ke arah balkon apartemen Satya yang kini sudah basah kuyup. Aku tak ingat sejak kapan hujan turun. Sejak tadi yang kulakukan hanya seperti ini: duduk meringkuk, sementara pikiranku entah ke mana. Bahkan aku tak tahu sekarang jam berapa. Yang kutahu hanya satu, sampai saat ini Satya belum juga pulang.

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang