Artikel 21: "Tanda-tanda Ada Hantu Didekatmu"

229 77 7
                                    

"OH, BEGITU.... Jadi dokter tidak bisa melakukan visit saat pandemi seperti ini? Baik, terima kasih.... Saya mengerti...."

Aku menutup sambungan telepon itu dengan lesu dan kembali menatap angka di termometer raksa itu dengan getir. 39,5 derajat Celcius. Ini, sih, demam tinggi! Kalau dibiarkan bisa-bisa akan gawat! Namun dua dokter terdekat yang kuhubungi tidak bersedia untuk datang dengan alasan pandemi—dan sebetulnya aku mengerti itu. Sedangkan, opsi untuk datang langsung ke rumah sakit terdengar tidak terlalu menyenangkan bagiku. Apalagi Satya tadi mati-matian minta—bahkan setengah mengancam—untuk tidak dibawa ke rumah sakit.

Jadi, apa boleh buat. Sepertinya malam ini aku fokus dulu merawat Satya hingga panasnya turun. Kalau besok tidak ada perkembangan, barulah aku akan membawanya ke rumah sakit. Bahkan, kalau perlu aku akan mengikat dan menyeretnya.

Sambil mengembuskan napas panjang, aku menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Rasanya lelah sekali. Kalau boleh, saat ini aku hanya pengin tidur nyenyak. Namun aku tahu tak bisa melakukan itu. Karenanya, aku mencoba beristirahat sejenak sambil memijat kening yang terasa berdenyut.

Tang, tung.

Suara notifikasi ponsel mengalihkan fokusku. Dari layar kunci kulihat cuplikan pesan yang muncul di sana, dan.... seluruh aliran darah tiba-tiba terasa meninggalkan tubuhku.

Innalillahi wa innailaihi rojiun.... Telah meninggal dunia Candi Mahadipa bin Arca Mahadipa, chief editor Hype Bandung, pada hari ini pukul 21.09 WIB. Semoga almarhum diampuni segala kesalahannya, diterima iman Islamnya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan.

PS: mengingat situasi pandemi, pihak keluarga memutuskan untuk tidak menerima tamu dan tidak menyelenggarakan tahlilan. Mohon pengertiannya ya, teman-teman.

Candi.... Candi meninggal dunia?

Seluruh duniaku mendadak berputar. Dadaku sesak. Aku tak tahu harus berkata apa dan yang bisa kulakukan hanya menutup mulut rapat-rapat—menahan agar tak ada tangis yang tersuarakan. Jangan sampai Satya mendengarnya. Jangan sampai mengganggu Satya!

Namun akhirnya aku tak tahan lagi. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke kamar mandi, mengunci pintunya rapat-rapat, dan membiarkan air shower mengalir deras membasahiku—menyamarkan air mata dan dan mengaburkan suara isakanku yang semakin tak terkendali.

Satya bilang ini bukan salahku, tapi aku tahu dia berbohong.

Ini salahku!

Harusnya aku tidak menelepon nomor itu!

Gara-gara itu orang-orang yang tidak bersalah menjadi korbannya: Randu, tante Hermien, dan sekarang Candi.

Aku bersalah....

Aku membunuh mereka....

Argh!

* * * * *

ENTAH berapa lama waktu yang kuhabiskan di kamar mandi untuk menangis di bawah shower yang mengalir deras sambil memukul-mukul dinding kamar mandi. Yang pasti, seluruh pakaianku kini basah kuyup dan penampilanku terlihat begitu menyedihkan.

Kuyu.

Kuyup.

Kusut.

Bahkan setelah mematikan shower pun aku tak langsung bangun. Pikiranku terasa penuh—sekaligus kosong—entahlah, aku sulit menjelaskannya. Yang pasti saat ini aku tak ingin melakukan apa pun. Aku lelah.

PRANG!

Terdengar suara barang pecah belah jatuh membentur lantai. Aku terkesiap. Pikiranku refleks melayang pada gelas yang ada di sebelah nakas. Apa Satya tak sengaja menjatuhkannya karena dia pengin minum?

Khawatir, aku lebih dulu mengganti seluruh pakaianku yang basah dengan baju ganti yang tadi pagi kugantung di belakang pintu. Setelah membalut rambutku dengan handuk, aku buru-buru keluar dan menengok ke arah nakas. Mataku langsung mengerjap saat melihat Satya ternyata masih tidur, sementara gelas itu masih tak bergeser dari tempatnya semula.

Lho? Tadi suara apa?

Penasaran, aku bergerak mendekati nakas. Saat itulah aku baru betul-betul memperhatikan kalau Satya terlihat tidak tenang. Dia terlihat gelisah dan mulutnya bergerak-gerak menggumamkan sesuatu.

Sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.

Mawar merah.

Aku terhuyung mundur sambil membungkam mulutku rapat-rapat. Kenapa Satya menggumamkan itu? Apa jangan-jangan....

Mendadak lampu di unit apartemen ini mati-hidup, kemudian mati-hidup sekali lagi. Persis seperti kejadian di lift tadi pagi. Hawa dingin menyergap punggungku saat kusadari.... suara napas beraroma kematian itu terdengar lagi.

Begitu dekat....

....dan jelas....

Pieter di sini!

Tengkukku meremang. Bulu kudukku merinding sejadi-jadinya. Jantungku mendadak berhenti berdenyut saat ponsel milik Satya yang aku pegang tiba-tiba berbunyi, dan sederet nomor yang paling ingin kulupakan terpampang di layarnya.

022 710XXXX

Nggak.

NGGAK!

Bayangan saat Pieter meneleponku di kosan beberapa hari lalu membuatku ketakutan. Namun, yang semakin membuatku tak mengerti.... BUKANKAH AKU SUDAH MENGHANCURKAN PONSEL DAN MERUSAK KARTU SIM-KU?

Bagaimana bisa....

Bagaimana bisa Pieter tetap menghubungiku?

Tidak!

TIDAK!

Panik, aku mengabaikan panggilan yang masih terus berdering itu dan segera mematikan ponsel milik Satya, lalu mencabut baterainya dan mengeluarkan kartu ponselnya. Harus dengan cara ini ponsel itu sudah mati total dan tidak bisa berfungsi. Namun aku nyaris menjerit saat dering ponselku terdengar lagi, dan ponsel yang tanpa baterai menyala lagi.

Nggak!

Aku menutup telinga dengan kedua tanganku, mencoba mengabaikan panggilan itu—berharap semoga dengan cara itu telepon akan terputus dengan sendirinya. Namun lagi-lagi harapanku tak terkabul. Telepon itu tiba-tiba terhubung dengan sendirinya, dan suara husky kering itu terdengar tepat di telingaku—berbisik dengan nada yang membuat sel-sel darahku mendadak beku.

"Jangan main-main, Cantik..."

Suara itu tiba-tiba menghilang begitu saja, dan lampu di unit apartemen ini kembali seperti biasa. Sama sekali tak ada sisa jejak kedatangan hantu itu di sini. Satu-satunya yang terlihat tidak biasa adalah ponselku yang kini tercerai berai, dan aku yang masih duduk bersimpuh tak bertenaga.

Wajahku memucat.

Rasanya aku tahu kenapa Pieter datang ke sini khusus untuk mengatakan jangan main-main.

Sepertinya hantu itu tahu.... kalau aku mulai menyukai Satya.... []

*
*
*
*
Kata VIE:

Hai hai.... sebelumnya saya minta maaf karena minggu kemarin lupa banget untuk update. Sebagai gantinya, minggu ini saya akan update dua part sekaligus. Semoga kedua bab ini bisa menghibur kalian yaa ^^

Sebagai tambahan informasi, sebentar lagi "Halo, Cantik!" ini akan memasuki part-part terakhir.  Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti cerita ini sampai sekarang. Stay tune terus dan ikuti kisah Sani sampai akhir, yaa ^^

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang