Artikel 18: "Bahaya Hujan-hujanan di Musim Pandemi"

249 82 10
                                    

38 derajat celcius.

Aku menatap angka yang terpampang di termometer raksa itu dengan mata terbelalak. Wah, pantas saja kening Satya cukup panas. Ini, sih, demam!

"Gue baik-baik aja!" protes Satya saat aku menyuruhnya untuk tiduran. "Tadi gue cuma—"

"Baik-baik aja muatamu!" omelku. "Tidur! Kemarin kamu hujan-hujanan, sih, trus lanjut begadang. Kemarinnya juga kamu begadang pas di kosanku. Pantes aja sekarang sakit!"

"Nggak bisa!" lagi-lagi Satya mencoba untuk protes. Dia bahkan bersikap akan bangun dan turun dari tempat tidur, tapi gagal karena aku keburu mendorongnya lagi. Tak ayal Satya pun terhempas lagi ke posisinya semula.

"Tidur!"

"Nggak mau!" protesnya lagi. Kali ini sambil bersungut-sungut. Sikap Satya yang seperti itu membuatku mendengus geli. Habis, dia jadi mirip bocah, sih! Padahal dengan tinggi 176 cm, potongan wajah yang laki banget—alis tebal, sorot mata ala Nicholas Saputra, dan rahang keras, maksudku—ditambah dengan rambutnya yang dibiarkan sedikit panjang, Satya cukup terlihat seperti pohon menjulang bagiku yang hanya setinggi 152 cm saja. Namun kali ini pohon besar itu berubah jadi seperti bonsai kecil yang keras kepala dan menyebalkan. Susah diatur!

"Pokoknya aku beli bubur dulu, terus kamu harus makan, minum obat, dan tidur," perintahku sambil menarik selimut yang semalam kugunakan untuk menutupi tubuh Satya. "Kamu—"

Kata-kataku terhenti karena Satya tiba-tiba menggenggam tanganku dan memberikan tatapan memelas. Seumur-umur mengenalnya, baru kali ini aku melihat dia seperti itu.

"San, kita nggak punya waktu lagi," katanya setengah memohon. "Hari ini malam keenam. Gue nggak bisa diam dan tiduran sementara lo digangguin sama hantu itu. Gue nggak rela lo diapa-apain sama Pieter! Gue harus bangun, dan—"

"Aku ndak terima protes, ya!" selaku cepat. "Tunggu sebentar, aku beli bubur instan dulu! Pokoknya kalau kamu nggak makan, kita musuhan!"

Setelah mengucapkan kata-kata itu aku bergegas menyambar dompet dan berderap keluar begitu saja. Satya mungkin mengira aku langsung menuju minimarket terdekat. Padahal saat itu aku masih berdiri mematung di depan pintu dengan kedua tangan menutup mulut.

Gue nggak rela lo diapa-apain sama Pieter!

Suhu wajahku meningkat drastis, dan jantungku dengan tidak sopannya berdebar tak keruan.

Ya ampun, aku kenapa? Apa aku demam juga?

* * * * *

RUPANYA kompleks apartemen Satya ini tidak dilengkapi dengan fasilitas minimarket. Alhasil aku harus berjalan sedikit jauh untuk membeli bubur. Tak lupa aku sekaligus membeli vitamin, obat penurun panas, dan beberapa perlengkapan yang biasa dibutuhkan untuk mengurus orang sakit. Plus aku juga membeli sarapan untukku. Alhasil kegiatan belanja yang semula kupikir akan beberapa menit saja membengkak jadi hampir satu jam.

Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi saat aku kembali memasuki area kompleks apartemen Satya. Setelah melewati prosedur pengecekan suhu tubuh dan membersihkan tangan menggunakan desinfektan, aku melangkah tergesa memasuki area lobi dan langsung menuju lift. Apartemen Satya terletak di lantai delapan, jadi lebih cepat menggunakan lift dibanding naik tangga.

Ting!

Pintu lift terbuka, dan kosong. Aku melenggang masuk dan langsung berdiri di belakang pintu. Toh tak ada siapa pun di sini, jadi tak masalah jika aku berdiri di mana pun. Menit berlalu, aku belum juga sampai ke lantai delapan. Aneh, padahal rasanya perjalanan tidak selama ini. Apa mungkin liftnya sedikit error, ya?

Tiba-tiba lift itu berhenti, kemudian sedikit bergerak naik, dan berhenti lagi. Aku mengerutkan kening. Ada apa? Apa lift ini rusak? Dan.... ah! Jantungku berdegup kencang karena lampu di lift ini mendadak mati-hidup. YA AMPUN, HOROR BANGET!

Panik, aku langsung memencet tombol emergency, tapi tak ada respons. Keringat dingin membasahi telapak tangan dan juga pelipisku. Selanjutnya yang kutahu, aku semakin brutal menekan tombol itu. Ayo, jawab! Jawab! Ja—

DEGGG.

Saat tengah sibuk menekan tombol sialan yang tak juga memberikan respon, tak sengaja aku melihat ke arah pinggiran pintu berbahan metal mengkilap. Wajahku langsung pucat.

Napasku tertahan.

Mataku mendelik horor saat menyadari ada sebentuk siluet samar terpantul di sana.

Hitam, suram.

Bukan, itu bukan bayanganku!

Seperti yang terjadi di berbagai film horor, aku bukannya fokus membuka pintu, tapi malah menoleh untuk memastikan tak ada siapa pun di sana. Benar saja, memang tak ada siapa-siapa. Namun saat aku kembali melirik ke pinggiran pintu itu, siluet itu tercetak lagi. Kali ini lebih jelas...

...dan dekat...

Hah!

Aku menoleh lagi, tapi nihil.

Namun siluet itu masih tetap ada, dan semakin dekat.

Seketika napasku memburu.

Jantungku berdegup kencang.

Tanganku tak berhenti menekan tombol emergency sementara lift masih naik dengan tersendat, tapi tak ada respon. Panik, yang terpikir olehku hanya menghubungi Satya melalui ponsel. Semoga saja aku bisa dapat sinyal!

"Sat! Lift! Tolong!"

Aku langsung membombardir Satya dengan tiga kata itu begitu panggilanku tersambung. Namun kemudian aku langsung menutup mulut saat menyadari kalau.... kalau di lift ini ada suara napas yang kering, dan berat.

Mataku mendelik lebar.

Tengkukku meremang.

Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.

Selama beberapa waktu aku berdiri kaku dengan pikiran yang—entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya. Hingga tiba-tiba sesuatu yang ringan jatuh dari atas dan mengenai kepalaku, lalu bergulir pelan di pundak dan jatuh ke lantai lift. Otomatis pandangan kuarahkan ke arah kaku dan....

Detik berikutnya, aku menjerit sejadi-jadinya saat melihat ada beberapa kelopak mawar di kakiku. Tiba-tiba saja pandanganku memburam. Duniaku berputar dan tubuhku jatuh bebas membentur lantai lift.

Aku pingsan. []

*
*
*
*
Kata VIE:

Hola, halooo.... Yashhh, akhirnya sampai juga di hari ke-6 yang berarti cerita ini sudah nyaris tiba di "ujung kutukan". Gimana menurut pendapat kalian tentang cerita ini?

Anyway, maafkan hari ini saya updatenya sore. Kebetulan nanti malam akan ada live IG di akun VieAsano untuk membahas project saya yang sedang berjalan di Wattpad pribadi (yesss, ini promo colongan wkwk) trus takut kelupaan kalau update setelah live. Alhasil duo S (termasuk Pieter) ini terpaksa muncul lebih cepat dari biasanya.

Sampai jumpa minggu depan ya! Sedikit spoiler: buat yang penasaran dengan sosok Pieter, ada kejutan di minggu depan lho :)))) 

See you!

Vie

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang