Artikel 5: "Bandung Juga Punya Mitos Telepon Hantu, Lho. Pernah Dengar?"

343 90 11
                                    

Di tengah perjalanan menuju alam mimpi, telingaku menangkap bunyi langkah kaki di koridor. Pelan, tapi pasti. Tap, tap...

*
*
*
*

"YAK, selesai."

Kubaca ulang artikel yang baru selesai kutulis dengan judul "Bandung Juga Punya Mitos Telepon Hantu, Lho. Pernah Dengar?". Baru membaca judulnya saja aku sudah menghela napas panjang. Sungguh, ini bukan artikel terbaikku. Namun, apa boleh buat. Setelah apa yang kualami seharian tadi, pikiranku jadi tidak fokus. Akhirnya kuputuskan untuk menulis artikel seadanya dulu, sekadar untuk memenuhi kewajibanku. Untuk sisa artikel lainnya, aku janji akan melakukan yang lebih baik dari ini besok. Semoga bisa.

Setelah memastikan tidak ada kesalahan yang terlalu krusial, artikel itu akhirnya kukirimkan ke Natasha. Hufth! Setidaknya satu utangku selesai. Merasa sedikit lega, aku pun menggeliat untuk melemaskan punggung sambil melirik jam dinding di atas meja rias. Wow, sudah jam 23.37! Pantas saja mataku sudah terasa berat dan sejak tadi aku terus menguap. Rupanya sudah waktunya untuk tidur.

Sambil kembali menggeliat, aku melangkah malas ke tempat tidur dan mengempaskan tubuh ke sana. Aaah, rasanya nyaman sekali! Tanpa basa-basi kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh dan hanya menyembulkan bagian wajah saja. Cuaca Bandung hari ini sedang cukup dingin karena hujan turun terus sejak sore tadi. Karenanya, bergelung di dalam selimut tebal sambil memeluk guling terdengar seperti kenikmatan dunia yang hakiki. Tak butuh waktu lama aku pun mulai terlelap.

Di tengah perjalanan menuju alam mimpi, telingaku menangkap bunyi langkah kaki di koridor. Pelan, tapi pasti. Tap, tap... Langkah itu kemudian berhenti di sekitar depan kamarku. Pikiran setengah mengantukku langsung membayangkan Aurel, penghuni kamar seberang, yang mungkin baru pulang dari pekerjaannya sebagai waitress di sebuah kafe di daerah Dago Pakar. Aurel memang biasa pulang menjelang tengah malam, terutama saat akhir pekan seperti sekarang. Kadang malah menjelang pagi kalau setelah itu dia lanjut dugem dulu.

Tok, tok.

Telingaku menangkap bunyi ketukan di pintu. Keningku sedikit berkerut. Kenapa Aurel mengetuk pintu kamarnya sendiri? Namun saat ketukan itu terdengar lagi, mataku langsung terbuka saat menyadari kalau pintu kamarku yang diketuk. Aku mengerang kesal.

"Rel?" Tanyaku malas. "Nggak bawa kunci lagi? Minta sama Mang Onda, sana! Aku nggak nyimpen kuncimu!"

Tak ada jawaban. Namun kemudian suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dari sebelumnya karena kantukku mulai menghilang. Aku mulai. Siapa, sih, yang mengetuk pintu kamarku tengah malam begini? Kalau itu Aurel, aku bersumpah akan langsung menyemprotnya. Mengganggu banget, sih! Pun kalau itu Risa, penghuni sebelah kanan, yang kadang pulang ke kosan dalam keadaan setengah mabuk. Awas saja kalau dia yang melakukan ini! Siap-siap saja kuceramahi tentang....

Eh?

Mataku seketika terbuka lebar. Kantukku mendadak hilang sepenuhnya. Bulu kudukku meremang saat teringat akan sesuatu.

Kemarin, Aurel bilang akan pulang kampung karena kafe tempatnya bekerja tutup sementara gara-gara Covid. Risa sudah pulang lebih dulu tiga hari lalu. Pun dengan Saras dan Sinta, penghuni lain yang ada di lantai ini. Mereka sudah pulang dari awal semester karena kuliahnya sepenuhnya dilakukan dengan cara daring.

Jadi.... siapa yang mengetuk kamarku?

"Si-siapa?"

Hening.

Jantungku berdegup kencang. Pikiran liarku langsung memikirkan kemungkinan yang paling realistis: ada perampok yang memasuki rumah kos ini. Tangga menuju lantai dua memang terletak di luar bangunan dan dibatasi oleh gerbang besi. Mungkin saja ada yang lupa menggembok pintu dan ada orang jahat yang memanfaatkan itu. Apalagi saat ini lantai dua lumayan kosong, yang pastinya jadi kesempatan bagus untuk beraksi menyikat barang-barang yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Waduh, gawat ini! GAWAT!

Perasaan takut mulai menjalar. Keringat dingin menetes di pelipisku. Aku menelan ludah. Gugup, perlahan aku mulai duduk dan meraih pemukul kasti yang memang selalu kuletakkan di sebelah tempat tidur. Sebagai anak rantau yang ngekos sendiri, Ibuk selalu mewanti-wanti untuk menyiapkan benda-benda yang bisa dipakai untuk perlindungan diri—dan itulah sebabnya aku sengaja membeli pemukul kasti ini. Setelah menggenggam pemukul itu dan menyambar semprotan cabe dari dalam tas, kegugupanku mulai berkurang. Sebaliknya, keberanianku mulai muncul walau baru setipis kertas—dan sedikit bertambah tebal setelah yakin kalau aku sudah mengunci dan menyelot pintu dengan sempurna, bahkan mengaitkan rantai pengaman yang sengaja kupasang sebagai jaminan perasaan aman.

Pokoknya, kalau maling itu berhasil masuk, awas saja!

Namun, hingga bermenit kemudian, tak ada apa pun yang terjadi. Suara ketukan itu tak lagi terdengar, pun dengan suara langkah yang mendadak senyap. Perlahan keteganganku mengendur dan kantukku kembali datang. Mataku terasa berat, dan tahu-tahu aku sudah kembali menyembunyikan diri di balik selimut sambil tetap memeluk pemukul kasti.

Aku menguap lebar.

Terserah lah, pikirku lelah. Pokoknya aku ngantuk! Pengin tidur!

Mataku kembali terpejam. Secara bertahap napasku pun mulai teratur seiring dengan kantuk yang semakin berat. Tepat menjelang aku betul-betul akan tidur lelap, samar terdengar suara bisikan kering yang membuat mataku kembali terbuka.

"Halo, Cantik...." []

*
*
*
*
*

Kata Vie:

Holaaa.... Sebelumnya saya minta maaf karena telat banget mengupdate cerita ini. Sore ini tiba-tiba nggak enak badan dan tahu-tahu sudah jam segini :')

Sebagai permintaan maaf karena telat mengunggah, sekaligus karena bab ini pendek sekali, hari ini saya akan mengunggah dua bab sekaligus. Semoga kalian menikmati petualangan Sani malam ini, ya! ^^

Cheers,

Vie Asano
(Instagram: VieAsano)

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang