Di sudut kamar nan gelap.
Di dalam rumah pengap.
Di antara nafas terlelap.Ditekuk juga lutut yang kurus itu,
Mata nampak sayu dan lelah.
Semalaman harus berperang,
Melawan hantu di masa lalu begitu menyeramkan.Orang-orang tak pernah paham,
Dalam diam ada kehancuran yang disembunyikan.
Setitik lagi deru nafas panjang 'kan memendek,
Seiring tak hentinya ombak menghantam dinding ketabahan.Tuhan Maha adil, katanya.
Namun mengapa yang mengadili dahulu tak dicekik lehernya?
Tuhan Maha Kasih, katanya.
Tapi kenapa manusia tak berkasih sayang pada sesamanya?Dosa-dosa yang tengah diputihkan itu,
Ternyata menghitam juga.
Di tengah kerumunan manusia mulia,
Si pendosa makin jelas hinanya.
Ditertawakan pedihnya,
Air mata tak lagi berani menetes menampakkan dirinya.
Hancur jiwanya.Sekali saja, bolehkah aku dipandang sebagai manusia?
(Aku Ingin Jadi Manusia).
Di pojok kamar, November 2021.
-Gii.--------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------Hanya diri sendiri, yang tak mungkin orang lain akan mengerti.
..............................................Apalah menjadi manusia di mata manusia; jika tak mulia maka pastilah hina.
Kau pilih apa?Aku melihat raksasa di dalam diriku, di dalam diri semua manusia; kita telah gagal memanusiakan manusia.
Pernahkah kamu merasa begitu amat kecil di hadapan orang lain? Atau bahkan merasa amat kecil di hadapan dirimu sendiri?
Apa yang kamu lakukan?
Bertahankah, atau berlari sejauh mungkin agar tak perlu melihat kenyataan?
Apakah kamu sanggup tegak berdiri atau lebih memilih bersembunyi?
Lagi dan lagi, kita selalu dipatahkan oleh keadaan.Pernahkah melihat seorang anak manusia yang dicaci maki sebab dipandang hina dan begitu banyak celanya? Atau, kamu sendiri pernah merasakannya?
Pernahkah kamu di kelilingi orang-orang yang hanya bisa melihat betapa buruk dan sampahnya dirimu?
Pernahkah kamu hidup di tengah-tengah gurihnya hujatan manusia? Atau, pernahkah merasakan bagaimana lezatnya caci maki dan kalimat-kalimat penghakiman yang dilontarkan untukmu?Ketahuilah, bahwa ada dua cabang hidup yang kadang dilupakan manusia. Bahwa jika kita tidak menyakiti orang lain, maka kita akan disakiti orang lain. Begitu, kan?
Setiap hari dalam hening malam yang sunyi, atau saat mendung datang di ujung sore, aku memandang diriku amat kecil, kecil dan bahkan tak nampak. Sebab apa? Sebab aku terlalu takut untuk mengatakan semuanya. Mengatakan kepada dunia bahwa aku ingin dipandang juga sebagai manusia.
Apa yang kau lihat dalam diriku?
Apa yang hebat dari seonggok daging yang bernyawa ini?
Ah, banyak orang yang memandangku amat rendah, bahkan jauh lebih rendah daripada alas kakinya sendiri.Pun, agaknya begitu juga yang dirasakan banyak orang di luar sana. Ketika Tuhan memberikan izin kepada manusia untuk melihat buruknya manusia lain, mereka lupa betapa banyak rumpang dalam hidupnya. Beberapa orang merasa lebih baik, hanya karena Tuhan belum menampakkan busuk hatinya. Beberapa yang lain memilih langsung menghakimi keburukan yang ia lihat, tanpa pernah berani menghakimi dosa-dosanya sendiri.
Kita terlalu pemberani di hadapan orang lain, tapi menjadi amat pengecut di depan diri sendiri!Siapakah orang yang paling hebat itu?
Apakah mereka-mereka yang hebat bersilat lidah dan mencari pembenaran atas dirinya lalu mengatasnamakan dosa orang lain untuk membuatnya nampak mulia?
Siapakah orang yang paling kuat itu?
Apakah mereka-mereka yang kuat menjatuhkan orang lain dan menghancurkan hidupnya?
Siapakah orang yang paling benar itu?
Apakah mereka-mereka yang benar-benar berani mencari keadilan dengan cara menciptakan ketidakadilan untuk orang lain? Atau mereka yang memperjuangkan kebenaran dengan cara yang salah?Sesekali, cobalah pandang mereka yang kau anggap hina itu sebagai manusia. Agar kau paham bahwa semua manusia layak diperlakukan sebagai manusia.
Hanya karena seseorang telah berbuat salah, apakah selamanya ia harus dipandang salah?
Hanya karena seseorang pernah berbuat buruk, apakah kehidupannya selalu layak dipandang buruk?
Hanya karena seseorang dinampakkan Tuhan dosa-dosanya, apakah pantas kita merasa lebih mulia?Oh, manusia.
Betapa sungguh telah dibutakan juga mata dan hatimu.
Mengapa begitu mudah memperlakukan orang lain dengan buruk? Sedang kamu sendiri tak kuasa jika diperlakukan dengan buruk.
Mengapa begitu landainya bicaramu menyakiti hati orang lain? Sedang hatimu pun rapuh saat dihadapkan dengan kalimat-kalimat menyakitkan.
Mengapa begitu ringan langkahmu menghancurkan mental orang lain?
Sedang mentalmu pun tak sebaja yang kau kira. Betapa dalam ruang-ruang paling rahasia hidupmu, kamu pun amat lemah dan kecil menghadap dunia.
Tapi mengapa senang sekali memandang orang lain begitu rendahnya?Katakan semesta, apakah orang-orang yang di luar sana tengah sekarat sebab terluka hatinya akibat dibantai kata dan perlakuan yang kasar itu, bisa mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya?
Apakah Tuhan bersedia membela dirinya di hadapan manusia-manusia yang telah kehilangan hatinya?
Ataukah takdir akan selalu membiarkannya nampak begitu menjijikkan di hadapan banyak orang?Kadang, rasa sakit yang mendera membuat kita ingin membalasnya. Ingin mereka merasakan hal serupa, tapi sadar bahwa semua manusia berhati kaca; rapuh dan rawan terluka. Akhirnya dikantongi juga sesak-sesak yang ada.
Kepada semesta, kepada siapapun yang menyebut dirinya manusia; bisakah kita sama-sama memanusiakan manusia?
November 2021.
-Giovano A Brillian.
KAMU SEDANG MEMBACA
(APAKAH) KITA MANUSIA?
PoetryAku bukan pencerita, tapi di sini aku ingin bercerita. Aku bukan penulis, tapi lewat diksi aku ingin menulis. Boleh, kan? Ini bukan ceritaku, tapi ini cerita semesta. Tentang banyaknya cerita yang tersangkut pada hari-hari yang tidak menyenangkan...