Tidak Ada Rumah, Yang Ada Hanyalah Patah.

118 38 19
                                    

Malam ini hujan turun lagi...
Bersama kenangan yang ungkit luka di hati...
Luka yang harusnya dapat terobati...
Yang kuharap tiada pernah terjadi...

Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian...
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah...
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam...
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan...
-Last Child

Luka itu kian nyata, menganga dengan lebarnya.

Jika bagi orang lain keluarga adalah cinta yang sungguh, maka bagiku keluarga hanyalah kasih yang singgah.
Tidak ada bahagia yang menetap, rumah bukan lagi istana bagiku.
Aku seolah tinggal di antara beberapa raga bernyawa yang asing, kemudian waktu membuat kisah kami menjadi usang.
Tak ada keluarga bagiku.
Yang ada hanyalah rumah tempat berkumpul beberapa orang, itupun sekadar untuk melepas penat, atau untuk terhindar dari terik maupun hujan.
Selebihnya, tidak ada.

Bagi anak lain, ibu adalah surga yang hidup dan tampak.
Namun bagiku, ibu hanyalah sesosok wanita yang kupinjam rahimnya untuk menampungku sekian bulan, setelahnya seolah kami tak terikat hal apapun.
Baginya aku celaka, bagiku dia nestapa.
Kami berdua hanya terjerat hubungan keluarga tanpa diminta.

Ayah, mungkin adalah cinta pertama untuk anak perempuan lain.
Atau bagi anak lelaki, Ayah adalah sosok paling mujarab untuk ditiru.
Tapi bagiku semua itu tidak berlaku.
Tidak ada Ayah yang memberikan kasih sayang, tidak ada hari berlibur yang menyenangkan, tidak ada perlindungan yang aman, tidak ada kekar tangan yang menopangku saat jatuh.
Tidak ada omong kosong itu semua.
Aku hidup dengan memaksa kuat tanpa sosok itu.
Sosok yang jadi pahlawan di keluarga, tapi bagiku hanyalah cerita bohong belaka.

Saat kulihat anak lain damai memegang kedua tangan orang tuanya, aku hanya bisa tersenyum kecut.
Tak dapat kupungkiri, hatiku berasa dipecut.
Kenapa harus mereka?
Kenapa bukan aku saja?
Kenapa lara menghampiri hidupku?
Kenapa bahagia hanya milik mereka?
Kenapa tiada damai yang bersua di rumahku?

Tidakkah boleh aku menimang kebersamaan dengan sekumpulan orang orang yang bernama keluarga?

Kadang, aku ingin Tuhan biarkan aku kembali tanpa nyawa.
Kenapa dilahirkan jika hanya untuk ditakdirkan semelarat ini?
Tidakkah boleh ada kesyahduan di rumahku?

Aku kacau, segalanya balau.
Aku rusak, segalanya berserak.
Hatiku patah, jiwaku lelah.
Tidakkah Tuhan mau mengasihi aku?

Pada malam-malam sunyi ditemani dengkuran binatang malam aku memulai lamunan.
Andai, andaikan aku terlahir dari keluarga yang harmonis, yang senyum saja sudah terasa manis.
Andaikan aku tidak dilahirkan di keluarga yang memuja tangis, yang membuat hatiku kian teriris.

Andaiku tak pernah sampai, andaiku tak pernah nyata.
Andaiku hilang terbawa angin malam yang dingin.
Akan sampai kapan hidupku begini?
Mengigaukan kebahagiaan di dalam rumah, menginginkan kebersamaan yang tak pecah, mengharapkan doa doaku tak kan patah.
Tuhan masih bersamaku, kah?

Aku membenci semuanya.
Aku benci dilahirkan ke dunia.
Aku benci dibesarkan hingga dewasa.
Aku benci harus dipaksa menelan luka.

Tidakkah boleh takdir ditukar saja?

Aku rela segalanya diambil dariku, ambil lah semesta. 
Tapi kumohon, kembalikan satu hal untukku.

Kembalikan keluargaku.

Angin malam yang mengusap kepalamu dengan damai.
-Giovano A Brillian

(APAKAH) KITA MANUSIA? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang