Dear orang-orang baik.
Dear orang-orang hebat.
Dear semua orang yang masih memiliki hati nurani.
Dear semua orang yang masih percaya adanya Tuhan.
Bacalah ini.•
•
•
•
•Kadang, kita tak terima dicaci maki.
Tapi kitapun mencaci maki.
Kadang, kita tak terima dijatuhkan.
Tapi kitapun senang menjatuhkan.
Kadang, kita tak terima dihakimi.
Tapi kitapun dengan mudah menghakimi.
Lalu, bukankah hidup ibarat bertani?
Petani cabai akan memanen cabai tentunya, bukan tebu apalagi anggur.Maka, pertimbangkanlah segala lisan dan kata yang keluar dari lidahmu.
Boleh jadi apa yang kau utarakan hari ini, akan menjadi racun untuk hidupmu di masa depan.
Boleh jadi yang kau tertawakan hari ini, akan menjadi penolongmu di masa mendatang. Siapa yang tahu, bukan?Terlalu sibuk mencampuri urusan orang lain, membuatmu lupa akan marwah hidupmu sendiri.
Terlalu senang menghakimi kesalahan orang lain, membuatmu lalai akan kekurangan diri sendiri.
Tiada satupun kita yang suci, semua memilih jalan dosanya masing-masing.
Lalu, daripada menghabiskan waktu hidup menggunjing dan menistakan orang lain, bukankah lebih baik memperbaiki kesalahan diri sendiri?Alam memberi bencana, bukan semata-mata karena bumi sudah tua.
Lebih daripada itu maknanya, Tuhan ingin sampaikan pada manusia agar bertobat sebelum ajal mendera.
Manusia seringkali kufur, hingga kemudian menjadi kafir.
Manusia seringkali menjadi lupa,
hingga akhirnya berujung hina.
Kita menistakan orang lain, padahal kita sendirilah kenistaan itu.
Kita merendahkan orang lain, tanpa kita sadar di mata Tuhan kitalah yang lebih rendah. Mengapa senang sekali menghujat?
Mengapa senang sekali mengupat?
Padahal Tuhan telah sediakan takdir yang tepat.
Berlaku seolah kitalah Tuhan, padahal nasib kita hanyalah sebagai hamba.
Berlaku seolah kitalah majikan, padahal realitanya kita hanya pemeran cerita dalam skenario Tuhan.
Tak malukah? Tak merasa lucu kah?Kembalilah menjadi layaknya manusia. Bukankah hidup sesuai alur yang Tuhan sediakan adalah pilihan yang jauh lebih baik? Daripada harus menghabiskan waktu menggerayangi dosa-dosa insan lain, lebih baik ikut bersenandung dengan dosa sendiri. Ibarat memiliki rumah yang atapnya bocor, dan kita malah memperbaiki atap rumah orang lain.
Tidakkah akhirnya kitalah yang kehujanan?Kadang, kita memang benar-benar lalai, kita benar-benar jauh dari kepantasan sebagai insan Tuhan.
Andai Tuhan dapat langsung berbicara dan kita memahaminya, maka tinggallah tubuh kita abu yang berserak karena tak kuat menahan murka Tuhan.
Andai kita pahami lebih jauh, bahwa kita sudah tersesat terlalu jauh.
Kita benar-benar merugi, kita benar-benar tak tahu diri.
Ah, memalukan sekali.Bayangkan, andai manusia terus begini, kapan hidup di dunia bisa berasa damai lagi? Hingga ajal menghampiri diri, seumur perjalanan hidup kita tetap merugi.
Tidak untuk menggurui, tidak merasa suci sendiri.
Pada akhirnya Tuhanlah yang tahu, seberapa hina atau sucinya aku ataupun kamu.
Hingga pada akhirnya Tuhanlah yang memutuskan, siapa yang berhak di surga dan siapa pula yang pantas di neraka. Wallahu'alam bisshowaf.
Allah lah yang tahu dan berhak akan segalanya.Dari diri pendosa, dari setetes mani yang diberi nyawa.
-Giovano A Brillian
KAMU SEDANG MEMBACA
(APAKAH) KITA MANUSIA?
PoesiaAku bukan pencerita, tapi di sini aku ingin bercerita. Aku bukan penulis, tapi lewat diksi aku ingin menulis. Boleh, kan? Ini bukan ceritaku, tapi ini cerita semesta. Tentang banyaknya cerita yang tersangkut pada hari-hari yang tidak menyenangkan...