I. Tanzaku

1.7K 200 6
                                    

Yuuta itu pria yang baik.

Ia selalu menghargai dan menghormatimu. Ia selalu tahu cara memperlakukan manusia dengan benar. Ia tahu favoritmu, hal-hal kesukaanmu, dan mengerti karaktermu. Ia jago memasak, jenius, langganan juara satu, dan tidak pernah tidak menang olimpiade yang pernah ia ikuti. Ia bak malaikat untukmu yang bukan apa-apa.

Dan ia, ia mencintaimu. Sepenuh hati.

Lantas, kenapa kau meninggalkannya?

Kenapa kau meninggalkannya?

Kau sangat tahu jawabannya. Kau memilih tidak mengingat itu dan menyibukkan pikiranmu tentang hal lain; seperti bekerja, menyiram bunga, menulis, serta pergi ke kencan buta. Mereka tidak berhasil; cara-cara itu. Tapi, kau tetap mencobanya. Kau tetap mencobanya karena kau pikir, kau akan bisa melupakannya.

Ternyata, sudah tiga tahun.

Tiga tahun sejak kau merayakan Tanabata terakhir bersama Yuuta.

Kau merasa kesepian? Tentu. Namun, apa yang bisa kau laku? Ini semua sudah Tuhan gagu; tetapmu. Tidak seumur hidup kau dapat menyesali itu, akan kau biarkannya berlalu.

"Rika!"

Teman barumu, namanya Rika Orimoto. Kali ini, ia yang akan menemanimu ke festival dan menuliskan harapan—yang kau tidak tertarik untuk tahu. Kau bertemu ia di suatu kafe, saat kau minum lima gelas kopi dengan depresi (kau tidak minum alkohol), dan ia adalah pemiliknya. Ia menghentikanmu meminum lebih banyak kopi dan menemanimu mengobrol. Ia sangat baik. Kau terkadang berpikir suaranya mirip seseorang, tapi kau tidak ingin menyebutnya.

"[Name]! Bagaimana kabarmu?"

Semua tentang Yuuta itu misterius.

Keluarganya, masa lalunya, dan semua tentangnya. Kau tidak tahu mereka. Kau tidak tahu siapa nama ayahnya, atau siapa nama ibunya. Kau tidak dikenalkan dengan adiknya; kau tahu ia punya adik. Kau tidak tahu ia bersekolah di mana, kau hanya mengerti ia menang olimpiade sebab ia yang beritahu. Bintang-bintang di langit juga tampaknya tidak tahu mengingat seorang Yuuta Okkotsu sangat asing, elusif, dan samar.

"Tidak bagus."

Rika menaikkan sebelah alis. "Mengapa?"

"Tidak bagus saja." Kau mengangkat bahu. "Aku tidak dalam perasaan yang baik dan aku tidak ingin."

"Tidak ingin ada dalam perasaan yang baik?"

Kau mengangguk. "Hum, seperti itu."

"Mengapa?"

"Rika, apa kau harus selalu tanya begitu?"

Rika tertawa. "Tidak, aku minta maaf. Jadi, bagaimana harimu?" Wanita itu menyeruput satu sedot susu stroberi, memperhatikanmu.

"Tidak pernah lebih buruk," jawabmu santai.

"Oh, ayolah, kau pasti bercanda." Rika terkekeh. "Kau menakjubkan, apakah pengalamanmu tidak?"

"Terima kasih atas ubur-uburnya."

"Hei, aku tidak bermaksud begitu!" Rika tenggelam dalam tawa, dan seperti kebanyakan perempuan lainnya lakukan saat merasa geli, ia bertepuk tangan serta hampir memukul mejanya sendiri. Kau tidak mengerti, apanya yang lucu dari itu?

"Kau akan pergi bersamaku, 'kan?" tanyamu.

Rika mendongak, mengalihkan perhatian dari gelasnya yang setengah habis. "Um? Pergi?"

"Festival Tanabata. Kau tidak ingat?"

Rika tersedak. "Oh, tentu saja! Maafkan aku. Kapan?"

"Besok siang." Kau mengaduk-aduk makananmu yang mulai dingin. "Aku tidak ingin datang ke festival itu, tapi aku berharap sesuatu kepada Tuhan."

"Apa?"

"Kalau kuberitahu, nanti jadi tidak rahasia. Lagipula, harapan kita itu, 'kan, privasi."

Rika mencebik. "Tidak juga." Dua tegukan terakhir dan minumannya telah tandas. "Temanku—maksudku teman masa kecilku, kembali padaku, setelah tidak menghubungiku selama bertahun-tahun. Saat kulihat rupanya, sepertinya ia sedang patah hati. Dugaanku benar, sebab suatu hari, ia mendatangiku, dan berkata, 'Aku harap ia tidak pernah melupakanku' sampai akhirnya aku mengajaknya ke festival tahun lalu."

"Lucu sekali." Kau terkikik. "Apakah wanitanya tidak pernah melupakannya?"

"Untuk itu," jeda, Rika menatap langit-langit. "Hanya Tuhan yang tahu," lanjutnya.

Kau terdiam.

Rika berbicara lagi. "Um, aku pikir wanitanya adalah orang gila karena menolak manusia sesempurna temanku."

"Sempurna?" Kau bertanya.

"Benar." Ia gerakkan kepalanya atas-bawah. "Sempurna."

Matamu menyipit. "Kau tidak ingin menjelaskanku apa itu sempurnanya?"

"Tidak." Rika menggeleng. "Besok, ia akan ikut kita menulis harapan. Ke kuil biasa, bukan? Ia tidak keberatan ke mana pun. Kau bisa bertanya sesempurna apa dirinya secara langsung, omong-omong."

"Baik sekali," ucapmu dengan nada menyindir.

"Aku memang baik!" seru Rika berjalan ke arah dapur, meninggalkanmu sendirian bersama satu ponsel keluaran terbaru, satu buku catatan, dan daun gugur yang berjatuhan di luar sana; mengintip dari balik dinding kaca besar yang didesain transparan.

Kau menghela napas.

Kau mengingat memorimu dengannya lagi.

"Yuuta, jika aku makan daun ini, kau harus memberiku sepuluh ribu yen!"

"Yuuta, kenapa musim gugur itu setelah musim semi? Karena di musim semi ada banyak bunga?"

"Yuuta, mari ambil foto bersama!"

"Yuuta ...."

"Yuuta ...."

"Yuuta ...."

"[Name]!"

Kau tersentak.

"Uh?"

Kau melihat sekeliling, tampak rombongan manusia beramai-ramai menulis harapan di kuil, para anak kecil menggantung kertas di pohon, dan beberapa bayi yang dibawa orang tua mereka guna mendapat berkat. Sungguh festival yang cantik dan indah. Menyenangkan.

"Apa kau baik-baik saja?"

Kau mengangguk. "Ya, hanya sedikit ... pusing." Sebenarnya, tidak. Perutmu mual dan tanganmu pegal. Kau berusaha tersenyum untuk meyakinkan Rika, yang tampaknya berhasil—karena ia tidak melihat muka pucat di balik riasan serba tipis itu.

"Aku akan membeli minum. Kau pergi dulu saja ke kuil, temanku akan menemuimu di sana."

Kau mengiyakan apa pun ucapan setelahnya dan berjalan cepat menuju kuil. Bergerak mengambil obat-obatan anti cemas di kotak yang kau selipkan di obi, kau langsung menelannya begitu saja tanpa membutuhkan bantuan. Benar. Kau baru saja mengalami serangan panik.

"Butuh air mineral, Nona?"

Seseorang menyodorkan sebotol minum ke padamu, yang tentu kau terima dan hendak kau tengguk—tapi batal, serta tersedak hebat sebab ia adalah Yuuta Okkotsu.

"Tiga tahun tidak berjumpa, ya?"

Kau pingsan.

Sepertinya obat itu tidak bekerja, atau ini karena Yuuta Okkotsu.

...

Tuhan, tolong biarkan aku bersamanya lagi. Bahkan jika itu berarti aku mati.

Tanabata. ✓ 𝐘𝐔𝐔𝐓𝐀 𝐎𝐊𝐊𝐎𝐓𝐒𝐔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang