"Uugh. . ." Sebuah erangan keluar dari mulut Lia setelah sebuah buku menghajar hidungnya.
Disamping dokter itu, seorang gadis berambut putih perak memandangnya sedemikian rupa.
"Itu, sakit. . ?" tanya Linnea. Kekhawatiran bisa dirasakan dari nada bicara gadis itu sekalipun ekspresinya terlihat sangat kaku.Singkat kata, Lia ingin mengejutkan gadis itu, dan berhasil melakukannya dengan sempurna. Hanya saja, lemparan buku adalah harga yang harus dibayar tepat di muka dan tanpa cicilan.
Disisi lain, melihat Linnea yang khawatir padanya, Lia justru dibuat gemas. Apalagi melihat wajah kaku gadis itu, wajah bak boneka datar nan manis.
"Paling tidak keluarkan ekspresimuuu!" kata Lia sembari menarik pipi gadis itu untuk memaksanya tersenyum.
"Muuee. . ! Hwentikwan. . !" protes Linnea, berusaha menyelamatkan pipinya yang dipermainkan.
Mengingat Linnea yang sudah duduk di kelas dua belas, perlakuan Lia jelas membuatnya menjadi kesal. Sanyangnya, tinggi badan gadis itu yang dibawah rata-rata membuat siapapun melihatnya sebagai gadis kecil, tidak terkecuali Lia sendiri.
"Anda disarankan berhenti, dokter Lia." Noa berkata dengan suara lelah.
"Tidaak~" tolak Lia penuh main-main.
Namun sebuah suara tajam mengirimkan ancaman serius pada dokter itu. "Linnea, kita perlu memanggil polisi."
". . . Baik-baik, aku berhenti." kata Lia kemudian sambil mengangkat tangan, masih dengan senyum jahil diwajahnya.
Alih-alih karena merasa harus berhenti, kebenarannya Lia sungguh takut untuk bertaruh pada kata-kata itu.
Alasannya sederhana; Alice. Sebab Lia sendiri mengerti jika tidak ada candaan dari setiap kata-katanya.
"Muuu. . ." menggosok pipinya yang terasa sakit, Linnea mengirim tatapan kesal pada orang dihadapannya itu. Jika bukan karena Alice, pipinya mungkin bisa lepas.
Memandang Linnea yang menunjukkan kekesalan padanya, Lia mengubah tatapannya menjadi lebih lembut.
. . . Setidaknya, gadis itu menjadi lebih jujur dengan perasaannya daripada harus menyembunyikannya setiap saat.
Dan tentu, Linnea maupun Alice paham dengan maksud dari tindakan Lia. Sayangnya, "Kami nggak mampu melakukannya, dokter. . ." Alice berkata. "Nggak diluar."
Mendengarnya, senyum Lia terlihat bergetar sebelum beralih memandang alat berbentuk bando kucing yang terpasang diatas kepala Linnea ―Duality Reader of Myriad Emergence System; disingkat Dreamers, ciptaan khusus milik Lia yang ditujukan untuk Alice.
Berusaha mempertahankan senyumnya, Lia kembali berkata. "Kalian terus begitu dari dulu ya. . ."
Linnea hanya mampu menanggapinya dengan menundukkan kepala. Sementara Alice menghela napas dengan berat.
". . . Karena itu, ada sesuatu untuk kalian." sambungnya.
Dengan kalimat itu, Linnea dibuat mengangkat wajahnya dengan rasa penasaran. "Um. . ?"
"Tapi sebelum itu, katakan padaku. Alice, Linnea, bagaimana pendapat kalian tentang Game?" tanyanya.
". . . Game?" Linnea sedikit mengerutkan dahi mendengar pertanyaan tiba-tiba itu.
"Nolife." celetuk Alice.
. . . Dan udara disekitar ruang perpustakaan pun berubah canggung.
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Terris Story : Someone/Them
FantasyAmaryllis Illian Linnea, seorang gadis sekolahan dengan hidup yang bisa dikatakan sempurna. Keluarga kaya dan terpandang di masyarakat, prestasi di berbagai bidang akademik maupun non akademik, paras ideal yang diimpikan dan diidolakan banyak orang...