pov murni

24 1 0
                                    

(Pov Murni)

Sudah hampir pukul tujuh malam, Adam belum juga pulang. Sejak pukul setengah enam, aku sudah mencarinya ke mana-mana. Namun, Adam tak kunjung kutemukan, entah di mana anak itu. Malam ini gerimis mengguyur desaku, tidak mungkin aku keluar untuk mencari Adam sambil menggendong Nina. Kasihan dia, apa lagi hawanya benar-benar dingin.

Kang Didi, suamiku sedang bekerja di luar kota, dia biasa pulang dua bulan sekali. Aku hanya tinggal bersama anak-anak kalau suami tidak ada. Orang tuaku tinggal di desa sebelah, sementara orang tua Kang Didi sudah lama meninggal dunia, dia hidup sebatangkara sebelum menikahiku.

Di tengah kegelisahanku, Nina terus saja menangis, tidak seperti biasanya. Malam ini dia sangat rewel, bahkan tidak mau menyusu. Pikiranku semakin kacau, perasaan semakin gelisah. Harus kucari ke mana lagi, Adam? Ingin rasanya menghubungi Kang Didi, tetapi aku takut mengganggu istirahatnya, dia pasti sedang kecapaian setelah seharian bekerja.

Sudah berulang kali juga aku menelepon Ibu, tetapi nomornya sedang tidak aktif. Ya Allah! Aku harus bagaimana? Rumahku berada di ujung gang, sisi kanan kiri adalah lahan kosong. Rumah di depan juga tidak berpenghuni, tempat tinggalku agak jauh dari tetangga. Aku harus minta tolong pada siapa? Sementara hujan semakin deras, Nina juga tak mau berhenti menangis. Sayup-sayup kudengar azan isya berkumandang.

Aku menangis sesenggukan, perasaan ini semakin tak karuan. Aku takut Adam kenapa-kenapa. Akhirnya kuputuskan pergi ke rumah Pak RT untuk meminta bantuan. Aku berjalan sambil menggendong Nina yang masih saja menangis, payung yang kubawa ukurannya kecil sehingga tanganku basah terkena cipratan air hujan.

Dari kejauhan, aku melihat anak laki-laki sedang berdiri di tengah derasnya hujan. Aku pikir itu Adam, tetapi begitu mendekatinya, anak itu malah menghilang entah kemana. Tiba-tiba kurasakan dingin di sekitar tengkuk. Segera berlari menuju rumah Pak RT yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi.

"Assalamualaikum, Pak RT!" seruku.

Berulang kali kuucap salam dan mengetuk pintu, tetapi tak ada satu pun yang menyahut. Apa mereka sudah tertidur? Nina menangis semakin kencang, sedari tadi aku menyodorkan ASI, tetapi dia tetap tidak mau menyusu, membuatku semakin panik. Saat aku hendak pulang, pintu rumah Pak RT pun terbuka.

"Maaf, Mur. Saya tadi sedang salat, ada apa, ya?" sapa Bu RT.

"Adam hilang, Bu! Aku sudah mencarinya ke mana-mana, tapi enggak ketemu," jawabku memelas.

"Ya Allah! Nanti saya bilang ke Bapak, ya. Dia sedang mengaji. Sekarang kamu duduk dulu, kasihan bayimu kedinginan." Bu RT mengajakku untuk masuk.

Aku pun duduk, sambil berusaha menenangkan Nina. Sementara Bu RT masuk ke kamarnya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan memanggil Pak RT dengan suara seperti orang panik. Aku pun bergegas membuka pintunya.

"Bu Isah! Ada apa? Kenapa hujan-hujanan begini?" tanyaku cemas.

"Suamiku sampai sekarang belum pulang, Mur. Aku mau melapor ke Pak RT. Kamu ngapain di sini?"

Aku terpekik mendengarnya. Adam hilang, dan suami Bu Isah belum pulang. Ada apa ini?!

"Anu, Bu. Adam juga hilang ...." Aku tak kuasa menahan tangis.

Menit kemudian, Bu RT dan Pak RT menghampiri, lalu mempersilahkan kami untuk duduk. Aku menceritakan semuanya kepada Pak RT. Begitu pun dengan Bu Isah, dia bercerita bahwa suaminya tadi pergi ke warung, tetapi sampai saat ini belum pulang juga. Dia sangat khawatir karena suaminya mempunyai riwayat penyakit jantung.

"Baik, nanti setelah hujan reda, saya akan memanggil beberapa warga untuk mencari Adam dan Pak Maman," ucap Pak RT.

Beberapa menit kemudian, hujan pun mulai reda. Pak RT segera mengumpulkan warga untuk melakukan pencarian. Saat aku ingin ikut, Bu RT melarang karena kasihan dengan Nina. Dia memang benar, sedari tadi Nina menangis, mungkin karena kedinginan. Aku pun memutuskan pulang, untuk menidurkan Nina.

Lagi-lagi, dari kejauhan kulihat seorang anak laki-laki sedang berdiri. Namun, begitu aku mendekatinya, anak itu kembali menghilang. Aneh! Apa aku salah lihat? Postur tubuhnya sangat mirip dengan Adam. Atau mungkin hanya halusinasiku saja? Rasa dingin semakin menjalari tubuh, terlebih lengan bajuku basah karena kecipratan air hujan tadi. Kupercepat langkah menuju rumah.

Setelah sampai rumah, Nina akhirnya mau menyusu. Menit kemudian, dia pun tertidur. Kuoleskan minyak telon ke tubuhnya, agar dia merasa hangat. Setelah itu, bergegas mengambil wudu dan melaksanakan salat isya yang tertinggal. Selesai salat aku berdoa, memohon pertolongan kepada Allah agar Adam bisa ditemukan dalam keadaan baik-baik saja.

***

"Ya Allah ... di mana kamu, Nak? Kamu pasti lapar karena dari siang belum makan. Pulanglah!" seruku seraya berjalan ke luar rumah. Berharap Pak RT dan para warga dapat menemukan Adam.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar ada yang mengetuk pintu belakang, aku bergegas membukanya, barangkali itu Adam. Namun, pada saat pintu terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Tiba-tiba angin berembus kencang, kemudian lampu pun padam. Aku panik mencari keberadaan senter, sayup-sayup kudengar suara lirih.

"Bu ... aku di sini. Lapar, Bu ...."

"Adam! Adam! Di mana kamu, Nak? Jangan bikin ibu panik!" seruku seraya berjalan dan meraba-raba ke depan.

Di saat seperti ini, ponselku malah tertinggal di kamar. Padahal, biasanya aku selalu mengantonginya. Senter juga tak kunjung kutemukan. Ah! Aku lupa menaruhnya di mana. Beruntung, detik kemudian lampu menyala. Namun, tiba-tiba Nina menangis kencang, aku segera berlari menghampirinya.

Aku tersentak saat melihat seisi kamar yang berantakan. Bantal dan guling tergeletak di lantai, selimut yang menutupi tubuh Nina pun tersangkut di lemari. Ada apa ini? Segera kususui Nina agar berhenti menangis. Takut dan khawatir, perasaanku kini tak karuan. Tadi aku benar-benar mendengar suara Adam, tetapi kenapa anak itu tidak ada? Apa mungkin, aku salah dengar? Ya Allah ... jaga Adam di mana pun dia berada, jangan sampai sesuatu yang buruk menimpanya.

Setelah Nina kembali tidur, aku mencoba untuk menelpon ibu lagi. Barangkali nomornya sudah aktif. Setelah telepon tersambung, aku pun menceritakan semuanya, Ibu syok mendengarnya. Beliau bilang, Ayah akan segera ke sini.

Hari semakin malam, tetapi belum ada seorang pun yang memberi tahu kabar tentang Adam. Aku sangat berharap mereka bisa menemukan anak sulungku itu. Bagaimana perasaan Kang Didi kalau sampai dia mengetahui hal ini? Dia pasti sangat terpukul.

Pukul 22.26, Ayah datang. Dia segera berlari menghampiriku yang duduk di kursi depan rumah. Aku berhambur memeluknya dan menceritakan semua kekhawatiranku terhadap Adam. Beliau mengelus punggungku seraya berkata, "Sabar, Neng. Adam pasti ketemu."

Setelah itu, ayah pun bergegas mencari Adam. Aku di sini hanya bisa berdoa dan terus berdoa, agar Adam dapat ditemukan. Namun, kenyataan pahit harus kudengar, tepat jam dua belas, mereka menghentikan pencarian karena sudah larut malam. Ayah pulang dengan wajah ditekuk, aku hanya bisa menangis di pelukannya.

"Kita lanjut cari besok. Kamu yang sabar, ya. Adam pasti ketemu," ucap Ayah menenangkan.

***

Seusai salat subuh, aku segera mencuci baju. Sementara Ayah sedang menjaga Nina yang sudah bangun. Kepala rasanya pusing, badan pun terasa lemas. Aku baru ingat kalau belum makan dari kemarin siang. Namun, aku tidak merasa lapar sama sekali, saat ini yang kupikirkan hanyalah Adam. Aku ingin Adam pulang!

Tiba-tiba, baju Adam yang sedang kucuci robek. Aku heran dibuatnya, padahal bajunya tidak kusikat dan hanya dikucek pelan. Lalu, terdengar suara orang berteriak meminta tolong. Ayah pun berteriak memanggil orang tersebut, aku segera ke depan untuk mengeceknya.

"Ada apa, Pak?" tanya Ayah.

"Ada mayat di tepi sungai!" seru Bapak itu, kemudian berlari menuju sungai diikuti beberapa orang.

Deg!

"Adam?!"

next

Tumbal jembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang