bagian 3

20 1 0
                                    

Hari semakin siang, Nina juga sudah tidur. Ayah dan Inda sedang berusaha mencari Adam. Sementara warga lain tidak dapat membantu karena sedang mengurus pemakaman Pak Maman. Beberapa saat kemudian, polisi datang. Mereka menanyakan kronologi hilangnya Adam juga meminta fotonya.

Setelah mendapat informasi, mereka pun bergegas melakukan pencarian. Sementara aku hanya bisa menangis di pelukan Ibu, badanku terasa sangat lemas.

"Kita berdoa ya, Neng. Mudah-mudahan Adam cepat ketemu," ucap Ibu terisak.

***

Mentari telah berada di ujung barat, warna jingganya memancar indah. Namun, tidak dengan suasana hatiku. Aku sakit! Sampai saat ini tidak ada kabar tentang Adam. Inda pulang dengan wajah ditekuk, dengan lemas dia berkata, "Aku pamit, ya, Teh. Karena besok harus bekerja. Semoga Adam cepat ketemu."

Aku hanya mengangguk seraya mengelus pundaknya, saat dia mencium tanganku. Setelah Inda berlalu, aku segera masuk ke rumah. Kulihat ibu sedang melipat pakaian, tak enak hati melihatnya. Karena sangat khawatir dan cemas, aku sampai mengabaikan pekerjaan.

Azan magrib berkumandang, Ayah belum kembali. Polisi juga belum memberi kabar. Ingin rasanya menyusul mereka untuk ikut mencari, tetapi aku takut Nina menangis. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan terus berdoa.

Aku segera berwudhu dan menunaikan salat Magrib. Sementara ibu sedang menjaga Nina. Aku cuma mempunyai satu mukena, sehingga salatnya harus bergantian. Selesai salat, aku berdoa agar Adam ditemukan dalam keadaan baik-baik saja. Detik kemudian, ponselku bergetar, Kang Didi mengirimkan pesan.

[Bagaimana, Mur? Apa Adam sudah ketemu?]

[Belum, Kang. Sekarang polisi sedang mencarinya]

[Ya Allah ... sekarang akang sudah naik mobil, Mur.]

[Iya, Kang. Hati-hati.]

Aku tahu, Kang Didi pasti sangat menghawatirkan Adam. Semoga perjalanannya lancar dan selamat sampai tujuan. Dia pulang naik travel yang biasa menjemputnya.

Tiba-tiba Nina menangis kencang, membuat Ibu panik. Aku segera menggendong dan menyusuinya, tetapi dia tidak mau menyusu, dia meronta seolah tak ingin kugendong.

"Coba letakkan dia di tempat tidur, Mur!" seru Ibu.

Aku pun meletakkan Nina di atas tempat tidur. Tiba-tiba saja dia berhenti menangis, bahkan wajahnya tampak ceria. Aku sungguh tidak mengerti. Perlahan Nina menutup matanya, dia pun tertidur pulas. Bersamaan dengan itu, embusan angin kencang menerpa tubuhku. Seperti ada sesuatu yang lewat, tetapi apa? Hawa dingin menyeruak, bulu kudukku meremang.

"Kenapa, Mur?" tanya Ibu.

"Enggak, Bu. Oh, ya. Ini mukenanya, Bu. Aku buatkan teh manis, ya." Aku sengaja tidak menceritakan apa yang kurasakan tadi.

Gegas aku memasak air untuk membuatkan Ibu teh manis. Saat sedang menyalakan kompor, terdengar seseorang mengetuk pintu belakang. Aku pun bergegas membukanya, mungkin itu Ayah. Namun, saat pintu terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya beberapa pohon pisang yang daunnya meliuk-liuk terkena terpaan angin.

"Aku di sini, Bu ... lapar ...." Suara itu terdengar lagi, membuatku terperanjat.

Suara yang benar-benar mirip Adam, tetapi tidak ada seorang pun yang kulihat di sini. Pikiran-pikiran negatif tentang Adam mulai bermunculan, tak terasa air mata menetes membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpa anak sulungku itu.

"Ya Allah! Mur ... ini airnya sampai kering, loh!" seru Ibu seraya mematikan kompor.

"Astaghfirullah! Maaf, Bu. Ta-tadi ...."

"Sudah. Kamu duduk sana! Biar ibu yang bikin teh manisnya," ucap Ibu seraya kembali mengisi panci kecil itu, lalu menyalakan kompornya.

Aku duduk melamun di kursi, kepala terasa pusing, dada rasanya sesak. Ayah datang dengan memasang wajah sedih. Saat aku bertanya tentang Adam, dia hanya menggeleng.

"Entah harus cari ke mana lagi, Adam. Polisi bilang, kemungkinan Adam diculik, atau terpeleset ke sungai dan jasadnya terbawa arus," ucap Ayah lemas.

"Tidak, Yah! Adam baik-baik saja, kok!" bantahku.

"Sabar, Mur ... minum dulu, gih. Perbanyak istighfar dan berdoa, semoga Adam dalam lindunganNya," ucap Ibu menenangkan.

Pukul 21.27, Kang Didi mengabari kalau dia baru memasuki jalan tol karena sang supir menjemput penumpang lain terlebih dahulu. Dia juga bertanya tentang Adam, tetapi aku tidak menjawabnya. Suara lirih mirip Adam terngiang-ngiang di telinga. Apa mungkin itu suatu pertanda? Apakah Adam sudah meninggal? Ya Allah ... andai kuhatu kalau kejadiannya akan seperti ini, takkan kuizinkan Adam bermain sore itu.

Malam ini aku tidak bisa tidur, perasaan gelisah dan takut berkecamuk, membuat dadaku terasa semakin sesak. Ayah dan Ibu mungkin sudah tertidur pulas di kamar Adam. Nina juga tidurnya sangat nyenyak, berbeda dari biasanya. Dia biasa bangun tengah malam karena lapar atau mengompol, tetapi kali ini tidak. Bahkan, saat aku sedang mengganti celananya, dia tidak terkejut sama sekali.

***

Aku mengejar Adam yang terus berlari menuju sungai. Sekujur tubuhnya tampak kotor dengan semen. Dia terus berlari, sesekali menoleh ke arahku sambil tersenyum.

"Adam! Sini, Nak! Jangan lari lagi, Ibu capek!" Seruanku tidak digubrisnya, dia terus berlari hingga akhirnya berhenti di dekat proyek pembangunan jembatan.

"Adam!" seruku seraya melangkah mendekatinya.

Dia berdiri membelakangiku sambil menangis tersedu-sedu. Aku pun menepuk pundaknya, terasa dingin. Alangkah terkejutnya diri ini ketika Adam menoleh, wajahnya berubah sangat mengerikan.

"Aahk!"

Aku terperanjat, menoleh ke kanan dan kiri, ternyata masih berada di kamar dan tadi cuma mimpi, tetapi kenapa terasa sangat nyata? Apa itu petunjuk? Sebaiknya aku salat tahajud dulu, agar hati ini menjadi sedikit tenang. Saat ke luar dari kamar, aku kaget karena pintu depan terbuka. Aku pun Bergegas ke depan untuk mengeceknya. Tampak ayah sedang celingukan di depan rumah kosong itu.

"Ayah! Lagi ngapain?!" seruku.

Ayah pun menghampiri dengan terburu-buru. Keningnya tampak berkeringat, raut wajahnya pun seperti orang ketakutan.

"Mur! Selama kamu tinggal di sini, suka digangguin makhluk halus, nggak?" tanyanya.

"Enggak. Kok, Ayah nanya gitu?"

"Tadi, ada yang mengetuk pintu berkali-kali, Mur. Ayah keluar untuk mengeceknya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba ayah lihat sekelebat bayangan putih di rumah itu," jelas Ayah seraya bergidik.

"Mungkin Ayah salah lihat. Sudah, tidur lagi, Yah. Aku mau salat tahajud," ucapku seraya mengajak Ayah untuk masuk.

Sebenarnya, aku ingin menceritakan mimpiku pada Ayah. Namun, melihatnya seperti orang ketakutan, Aku jadi segan untuk bercerita. Aku segera kuberwudhu, lalu melaksanakan salat.

Pukul 03.10, ada yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Terdengar seperti suara Kang Didi, aku pun bergegas membukakan pintunya.

"Murni ... Adam mana?" tanya Kang Didi lemas.

Tiba-tiba Kang Didi sempoyongan, lalu ambruk ke tanah, membuatku terperanjat. Aku berteriak panik memanggil Ibu dan Ayah seraya mengguncang tubuh Kang Didi. Tubuhku gemetar, saat melihat tangan Kang Didi terluka parah.

Tumbal jembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang