bagian 4

16 2 0
                                    

"Ya Allah! Akang kenapa terluka begini?! Bangun, Kang!" Aku berteriak histeris.

Ibu dan Ayah pun berhamburan menghampiri kami. Mereka terpekik melihat Kang Didi yang tergeletak lemas. Kami segera mengangkat tubuh Kang Didi dan membaringkannya di kursi panjang. Ibu bergegas membuka jaketnya, lalu mengobati lukanya.

"Suamimu enggak bawa tas, Mur?" tanya Ibu.

"Biasanya selalu bawa tas, Bu," jawabku, panik melihat darah yang terus bercucuran dari tangan Kang Didi.

"Ya Allah ... jangan-jangan suamimu dibegal!" seru Ayah.

"Ini harus dijahit, Yah. Kita harus bawa Didi ke Puskesmas," jelas Ibu.

Ayah bergegas mengeluarkan motor, Ibu pun bersiap memakai kerudung. Sementara aku gelagapan, entah harus berbuat apa.

"Bu! Biar aku yang antar Kang Didi ke Puskesmas, ya," ucapku panik.

"Bagaimana kalau Nina menangis dan minta susu?" tanya Ibu.

"Tapi, aku sangat menghawatirkan Kang Didi, Bu. Ibu jaga Nina sebentar, ya." Aku bergegas memakai kerudung dan mengambil dompet.

Tiba-tiba Kang Didi tersadar, dengan lirih dia berkata kalau dirinya memang habis dibegal, di jalan sebelum memasuki gang. Semua uang hasil kerja kerasnya raib. Biasanya supir travel itu selalu mengantar Kang Didi sampai depan rumah, tetapi kali ini tidak, entah apa alasannya. Ingin bertanya lagi, tetapi aku kasihan melihatnya yang tampak sangat kesakitan.

Kami pun bergegas menuju Puskesmas yang jaraknya sekitar dua puluh kilometer dari rumah. Setelah keluar dari gang, tampak darah berceceran di tengah jalan. Kang Didi pun menunjuk, di sinilah dia dibegal. Dia juga bercerita kalau supir travel itu ada keperluan mendadak sehingga tidak bisa mengantarkan sampai rumah. Terlebih lagi jalannya hanya bisa dilalui satu mobil dan banyak yang berlubang. Kang Didi pun terpaksa diturunkan di depan gang.

"Saat akang mau melangkah, tiba-tiba ada yang berteriak meminta tolong. Kemudian akang melihat seseorang tergeletak di dekat pohon bambu di tepi sungai itu. Akang pun menghampirinya, berniat untuk menolong. Tapi, orang itu malah membacok tangan akang, lalu membawa kabur tas akang, Mur ...." Kang Didi bercerita dengan napas terengah-engah.

Aku bergidik mendengar ceritanya, sungguh tega sekali orang itu. Ayah juga beristighfar Sambil menggelengkan kepala. Sambil terus mengelus dada Kang Didi, aku menoleh ke arah kanan melihat sungai yang airnya tampak tenang. Teringat lagi dengan mimpiku tadi, saat melihat proyek pembangunan jembatan itu.

"Kalau jembatan ini sudah selesai, tentu jarak ke Puskesmas akan semakin dekat, begitu juga dengan jarak kerumah Ayah," ucap Ayah, membuyarkan lamunanku.

Beberapa saat kemudian, kami pun sampai di Puskesmas. Ayah bergegas memapah Kang Didi menuju ruangan pemeriksaan. Beruntung, Puskesmas ini buka 24 jam sehingga Kang Didi bisa segera ditangani. Ayah mendampingi Kang Didi saat tangannya sedang dijahit, sementara aku menunggu di luar karena takut dengan jarum suntik.

Lama menunggu, Kang Didi belum juga keluar. Kulihat jam dinding di Puskes ini sudah menunjukkan pukul 04.32. Azan subuh pun berkumandang, bergegas pamit kepada Ayah untuk melaksanakan salat subuh di musolah Puskes ini.

Berat sekali ujian yang engkau berikan Ya Allah. Adam hilang dan Kang Didi terkena musibah, dia pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Bagaimana kehidupan kami kedepannya? Uang simpananku tinggal sedikit lagi, itu pun untuk berobat Kang Didi. Tidak mungkin aku meminta kepada Ibu untuk kebutuhan sehari-hari.

Selesai salat, aku berdoa seraya merutuki nasib ini. Air mataku tumpah tak tertahan lagi, orang-orang yang melihatku mungkin menganggap aku berlebihan. Aku hanya berharap Adam bisa ketemu, bagaimana pun keadaannya.

"Mur ...." Ayah memanggilku pelan.

Kebetulan aku salat di dekat pintu musolah ini. Aku pun menoleh, lalu bergegas melepaskan mukena dan melipatnya. Menyeka air mata yang membasahi pipi dan segera menghampiri Ayah.

"Sudah selesai, Yah?" tanyaku.

"Sudah, Mur. Kata dokter, Didi tidak perlu dirawat, jadi bisa pulang sekarang juga,"  jawabnya.

"Kira-kira berapa biayanya, Yah?"

"Kamu tenang ... sudah ayah bayar, kok."

"Tapi, Yah ...."

"Sudah ... tak apa. Ayo pulang! Kasihan Didi butuh istirahat."

Kami pun bergegas pulang, aku juga khawatir kalau Nina menangis. Diperjalanan, tak hentinya aku berterima kasih kepada Ayah. Dari dulu sampai sekarang, beliau selalu menjadi pahlawan dalam hidupku. Tak akan pernah kulupakan semua jasa-jasanya. Maafkan anakmu ini, yang hanya bisa membebanimu saja, Yah.

Setelah sampai, Ibu dan Nina tidak ada dirumah. Sempat panik, tetapi Ayah menyuruhku untuk berpikir positif. Mungkin Ibu membawa Nina pergi ke warung untuk membeli sarapan. Aku bergegas ke dapur, membuatkan teh manis untuk Ayah dan Kang Didi.

Menit kemudian, Ibu datang sambil menenteng plastik hitam, lalu menaruhnya di meja. Nina tampak ceria digendongnya, Kang Didi pun tersenyum lega melihatnya. Dia segera mengambil Nina dari gendongan Ibu, lalu menimangnya dengan penuh kasih.

"Ibu beli apa? Nina enggak nangis, Bu?" tanyaku.

"Beli nasi lengko buat sarapan kita, Mur. Nina sempat nangis pas bangun tadi subuh, tapi enggak lama, kok. Tadi, Ibu juga sudah menyuapinya," jawabnya.

Ibu kembali menggendong Nina, sementara aku menyuapi Kang Didi. Ayah juga makan sambil menyuapi Ibu, aku terharu melihatnya. Seketika kesedihan itu hilang, meski hati terus bertanya, di mana Adam. Selesai makan, Kang Didi segera meminum obat. Aku pun segera makan, meski hanya nasi lengko, rasanya sangat nikmat jika berkumpul dengan keluarga seperti ini. Namun, hati ini kembali sakit, bak ditusuk ribuan jarum saat kembali mengingat putra tercintaku, Adam.

"Nanti kita lanjut mencari Adam 'kan, Yah?" tanyaku.

"Iya, nanti kita cari Adam lagi," jawab Ayah.

Tiba-tiba, Kang Didi histeris, memanggil Adam sambil memukuli meja. Aku yang panik, langsung memeluk dan menenangkannya. Ibu mengusulkan untuk mengadakan pengajian nanti sore, awalnya aku menolak karena kupikir pengajian itu hanya untuk orang meninggal. Namun, Ibu meyakinkanku bahwa semuanya demi keselamatan Adam.

"Tapi ... aku tidak punya uang, Bu," ucapku lirih.

"Kamu tenang saja, Mur. Serahkan semuanya sama Ibu, ya." Aku hanya mengangguk, tidak mampu berkata apa lagi.

****

Hari-hari berganti, Adam belum juga ditemukan. Polisi menyerah, Ayah dan Kang Didi pun mulai putus asa. Mungkin, sudah saatnya kami mengikhlaskan kepergian Adam. Meski berat terasa, tetapi aku harus tabah dan kuat demi Nina. Ibu dan Ayah pamit pulang karena kasihan dengan Inda yang tinggal sendirian di rumah. Keadaan Kang Didi pun mulai membaik, dia memutuskan untuk berangkat lagi besok malam.

"Jangan menangis lagi ya, Neng. Insyaa Allah, Adam sedang berbahagia saat ini," ucap Kang Didi seraya merangkulku.

Kesedihan kami dapat terobati melihat Nina yang semakin aktif merangkak, celotehannya selalu membuat hati ini merasa damai. Kini, tinggal dia satu-satunya semangat kami, aku dan Kang Didi berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan Nina.

Malam ini hawa terasa dingin, Nina dan Kang Didi sudah tertidur pulas. Aku memandangi wajah orang-orang yang sangat kucintai, berat rasanya kalau sampai ditinggal lagi oleh Kang Didi. Namun, tuntutan ekonomi membuat kami harus berpisah sementara. Tiba-tiba Kang Didi terperanjat sambil berteriak.

"Adam!"

Tumbal jembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang