bagian 1

41 1 0
                                    

(Tumbal Pembangunan Jembatan)

PROLOG

Pukul 17.30, anak-anak masih asyik bermain di lapangan bola. Sebagian ada yang disusuli orang tuanya karena sudah petang. Adam, bocah berusia sembilan tahun itu pulang sendirian. Berjalan pelan menunduk, seraya bermain air yang menggenangi jalan berlubang. Hawa dingin karena hujan tadi siang tidak dihiraukannya, dia malah jongkok di kala melihat katak yang melompat ke rerumputan.

"Katak ... kamu di mana!" seru Adam seraya menyibakkan rumput yang agak panjang.

Minibus hitam berhenti sekitar lima meter dari keberadaan bocah itu. Laki-laki berperawakan tinggi besar turun, lalu berlari dan menyergap Adam dengan sigap. Mulutnya dibekap sehingga bocah itu kesulitan untuk berteriak. Tempat itu benar-benar sepi, tidak ada seorang pun yang melihat kejadian tersebut.

Bocah kurus itu terus meronta, tetapi pria yang membopongnya terlalu kuat sehingga dia hanya bisa menangis saat tubuhnya dilemparkan ke dalam mobil. Mobil itu lantas melaju dengan kecepatan tinggi.

Adam terus menangis sambil menyebut nama ibunya. Dia tidak mengerti kenapa orang-orang itu membawanya secara paksa. Batinnya bertanya 'apa aku diculik?'.

"Diam! Berisik!" bentak pria yang duduk disampingnya. Sementara Adam malah menangis semakin kencang.

Mobil itu berhenti di tepi sungai, lalu pria tadi menyeret tubuh Adam keluar menuju proyek pembangunan jembatan. Gunawan—mandor proyek itu—tampak tersenyum menyeringai saat melihat kedatangan anak buahnya beserta bocah yang dia inginkan.

"Lepaskan aku, Pak. Aku ingin pulang, lapaar ...." lirih Adam, suaranya parau karena terlalu lama menangis.

Pria itu sama sekali tidak mendengar rintihan bocah malang tersebut. Kemudian, seorang pria yang berpenampilan seperti dukun mendekatinya sambil membawa mangkuk yang terbuat dari batok kelapa. Mangkuk itu berisi darah ayam cemani dan beberapa kelopak bunga.

Gunawan memerintahkan pengemudi mobil pengaduk semen untuk segera menyalakan mesinnya. Suara gaduh dari mobil tersebut membuat Adam semakin ketakutan. Keringat dingin mengucur membasahi seluruh tubuhnya, matanya merah wajahnya tampak pucat.

Pria yang berpenampilan layaknya seorang dukun itu pun lantas menyiramkan darah ayam cemani ke tubuh Adam seraya merapalkan mantra. Bocah tersebut merasakan mual ketika bau anyir tercium oleh hidungnya. Dia menjerit sambil terus meronta-ronta, bocah itu masih belum mengerti dengan apa yang sedang dialaminya, dia ingin sekali bisa pulang.

"Lempar sekarang!" seru dukun yang diketahui bernama Ki Rekso.

Kemudian, Pria yang sedari tadi memegang Adam pun melemparkan bocah itu ke dalam tiang penyangga jembatan. Bersamaan dengan itu, mobil pengaduk semen pun menumpahkan isinya ke dalam tiang tersebut. Teriakkan pilu Adam nyaris tak terdengar, diredam gaduhnya suara mesin mobil. Seketika tubuh Adam membeku, berbaur dengan adonan semen.

Pengemudi mobil tampak menitikan air mata, dia sadar bahwa perbuatannya itu adalah tindakan kriminal. Namun, tuntutan dari atasan, membuatnya melakukan hal sekeji itu. Sementara Gunawan dan tiga orang kepercayaannya, beserta Ki Rekso sedang tertawa terbahak-bahak.

Dari kejauhan seorang pekerja tak sengaja melihat perbuatan bejat mereka. Namun, kehadirannya segera disadari oleh Ki Rekso, lantas dia pun menyuruh anak buah Gunawan untuk mengejarnya. Sialnya, orang itu pun tertangkap meski sudah berusaha untuk berlari.

"Kejam! Pantas kalian tidak mengajak kami untuk lembur, ternyata ini yang dilakukan kalian! Dasar manusia-manusia tidak punya hati!" teriak orang itu.

Tanpa basa-basi, Ki Rekso segera memukulnya menggunakan tenaga dalam sehingga dengan satu pukulan saja, dia langsung tak sadarkan diri. Kemudian, anak buahnya Gunawan segera melempar tubuhnya ke dasar sungai yang lumayan deras. Pengemudi mobil itu kembali menangis, lagi-lagi dia harus menyaksikan perbuatan kejam orang-orang yang serakah.

"Huh! Salah sendiri, kenapa ikut campur?! Sekarang terima akibatnya!" seru Gunawan.

"Dan kamu! Ini bayaran yang saya janjikan. Ingat! Tutup mulutmu rapat-rapat kalau tidak ingin bernasib sama seperti dia!" bentak Gunawan kepada pengemudi mobil yang diketahui bernama Kusno, seraya memberikan amplop coklat berisi sejumlah uang.

"Dengan begini, tiang penyangga itu tidak akan hancur lagi dan tetap kokoh seperti itu. Proyek pembangunan jembatan ini pun akan cepat selesai. Tentu kamu akan mendapatkan bayaran yang lebih besar, bukan?" ucap Ki Rekso. Gunawan mengangguk seraya tertawa puas.

Sementara itu, Murni—ibunya Adam—tampak sedang menunggu kedatangan anak sulungnya. Seraya menggendong anak kedua yang masih berusia sembilan bulan, Murni terus mondar-mandir di depan rumah dengan raut wajah gelisah.

Next???

Tumbal jembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang