bagian 7

17 0 0
                                    

Aku menelepon Ibu untuk memberi tahu kalau besok sore mau mengadakan pengajian. Apa yang dikatakan Rachel ada benarnya juga, aku tidak boleh menyimpan dendam. Lagipula, mau balas dendam dengan cara bagaimana? Sedangkan aku belum tahu siapa saja yang telah tega mengorbankan Adam. Yang jelas, pasti mandor proyek itu terlibat.

Hati yang sudah tenang, kini kembali meradang, mengingat begitu tersiksanya Adam. Aku bimbang, antara ikhlas dan dendam, rasanya ingin sekali berteriak. Ya Allah ... berikan hukuman setimpal kepada mereka!

Di saat seperti ini, aku merindukan sosok Kang Didi, tetapi dia baru bisa pulang beberapa minggu lagi, tak sabar rasanya menunggu kedatangannya. Untuk saat ini, aku tidak akan memberi tahu kebenaran tentang Adam kepada. siapa pun.

***

Pagi-pagi sekali, Ibu sudah datang diantar oleh Ayah sebelum beliau berangkat kerja. Aku memintanya agar menjaga Nina karena aku hendak ke pasar, membeli keperluan untuk pengajian nanti sore. Aku pun ikut dengan Ayah, kebetulan jalan ke tempat kerjanya melewati pasar.

Sesampainya di pasar, aku bergegas menuju toko bahan-bahan kue karena ingin membuat bolu. Kemudian, lanjut membeli buah-buahan dan makanan ringan lainnya. Saat sedang memilih-milih jeruk, aku mendengar percakapan para pedagang yang cukup menarik perhatian.

"Aku yakin dia disantet," ucap Penjual Buah.

"Iya, benar. Pasti Nyi Simah yang telah mengirim santet itu. Dia 'kan dukun hebat," sahut Penjual Sayur.

"Wajar, sih. Dia sombong dan kejam, banyak yang sakit hati dan dendam padanya," tambah Penjual Buah.

"Hmm ... kamu, kok, puas dia meninggal? Apa jangan-jangan ...." Penjual Sayur tampak berpikir.

"Ngaco kamu! Ya enggaklah. Sebenci-bencinya aku sama tuh rentenir, nggak bakalan ngelakuin hal sekeji itu!" bantah Penjual Buah.

"Haha. Siapa pun pelakunya, yang jelas dia berani banget berurusan dengan Nyi Simah. Ngomong-ngomong Nyi Simah bisa bikin laris jualan juga nggak, ya?" tanya Penjual Sayur.

"Kamu mau pakai penglaris?" Bapak Penjual Buah bertanya sambil berdecak. "Temui saja dia di hutan mati. Haha." tambahnya seraya terbahak.

Hutan Mati? Aku pernah mendengar tempat tersebut. Katanya, di sana memang tempat tinggal seorang dukun yang terkenal sakti. Hutan itu lumayan jauh letaknya, mungkin kalau ke sana dengan berjalan kaki, bisa memakan waktu seharian.

***

Setelah semua belanjaan dirasa cukup, aku pun bergegas ke pangkalan ojek. Usai menaikkan semua belanjaan, motor pun melaju dengan kecepatan sedang. Di perjalanan, aku terus memikirkan tentang Nyi Simah, dalam hati berkata, apa aku meminta bantuannya saja untuk balas dendam?

"Pak! Bapak tahu tentang Nyi Simah, nggak? Emang benar, ya, dia tinggal di hutan mati?" Pertanyaan itu spontan keluar dari mulutku.

"Ngapain Mbak tanya soal dia? Mbak lebih baik jangan berurusan dengannya. Nggak baik, musyrik." Tukang ojek itu malah menasehatiku.

"Nggak, Pak. Cuma nanya aja, kok," jawabku sedikit kesal.

"Mm ... dia memang tinggal di hutan itu, Mbak. Tapi, anaknya tinggal di Desa Sukosari. Orang-orang yang ingin bertemu dengannya, selalu datang ke rumah anaknya dulu untuk meminta bantuan. Katanya, lewat bantuan anaknya itu, mereka bisa cepat sampai ke hutan mati," jelas tukang ojek.

"Oh, gitu. Siapa nama anaknya, Pak?"

"Mbak beneran mau berurusan dengan Nyi Simah? Pake nanya nama anaknya pula. Jangan, Mbak! Musyrik!"

Ahk! Tukang ojek ini bikin kesal saja, akhirnya aku terdiam, tak sudi lagi bertanya padanya. Kalau tidak bisa menahan emosi, sudah aku toyorin tuh kepala Kang Ojek.
Beberapa saat kemudian, kami pun tiba di depan rumah. Tukang Ojek itu membantuku menurunkan belanjaan, lalu bergegas pergi setelah aku bayar.

Aku segera menyiapkan bahan-bahan untuk membuat bolu. Tidak ada mixer dan alat-alat canggih lainnya, aku mengocok adonan menggunakan garpu saja. Kemudian, mengukusnya menggunakan dandang penanak nasi.

"Assalamualaikum!" seru seseorang yang kukenali suaranya.

Aku pun menjawab salam, lalu menyuruhnya untuk masuk, tanpa menghampirinya terlebih dahulu.

"Mur! kok, kamu nggak bilang kalau mau bikin kue? kan bisa pakai mixer punyaku, daripada pakai garpu mah pegel atuh!" tegur Santi.

"Nggak papa, lagipula bikinnya sedikit, kok," jawabku.

Santi pun membantuku mengocok adonan, sementara Ibu mencuci semua buah sambil menggendong Nina. Beliau selalu saja ingin membantu, meski aku sudah melarangnya.

"Mur! Ini untuk apa?" tanya Ibu, sambil membuka plastik hitam kecil berisi kembang tujuh rupa.

"I-itu buat dicampur dengan air nanti," jawabku gugup.

"Terus airnya untuk apa? Mandi?" tanyanya lagi.

"Bukanlah, Bu. Masa untuk mandi. Itu buat disiramin ke samping rumah. A-anggap saja kuburan Adam ada di situ." Aku semakin gugup.

"Kamu ini ada-ada saja," ucap Ibu sambil menggeleng.

Mungkin beliau heran padaku yang tiba-tiba mengakui kalau Adam sudah meninggal. Karena sebelumnya, aku memang ngotot kalau Adam masih hidup dan baik-baik saja.

***

Pukul 16.00, orang-orang yang hendak mengaji mulai berdatangan, termasuk Pak Kiai, Bu RT, dan Bu Isah. Aku prihatin melihat kondisi Bu Isah yang semakin kurus saja, sepeninggal suaminya dia banting tulang mencari nafkah untuk ketiga anaknya.

Aku menaruh air kembang tujuh rupa di wadah kecil dan diletakkan depan Pak Kiai. Setelah semua orang yang kuundang sudah datang, pengajian pun dimulai.

***

Selesai pengajian, Ibu sibuk mencuci piring dan gelas bekas menjamu tamu, sementara aku menyuapi Nina. Kusimpan air kembang itu ke dalam plastik es berukuran besar, lalu disembunyikan dekat pohon mangga depan rumah.

"Bu! Titip Nina, ya. Aku mau kasih sisa bolu ke Santi, kasihan dia 'kan tadi bantu-bantu," ucapku setelah Ibu selesai mencuci piring.

"Iya, Mur."

Aku bergegas membungkus bolu dan buah-buahan untuk Santi, lalu keluar dan mengambil air kembang tadi. Sesampainya di depan rumah Santi, aku kembali menaruh air kembang itu dekat pagar, bisa repot urusannya kalau dia sampai tahu dan bertanya.

Setelah memberikan bolu dan buah-buahan kepada Santi, aku bergegas menuju jembatan untuk menyiramkan air kembang ini. Aku melangkah perlahan ke tepi jembatan, kebetulan jalanan sedang sepi.

"Semoga kamu tenang di alam sana, Nak," ucapku terisak, seraya menyiramkan air kembang ke pembatas jembatan ini.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundak, membuatku terlonjak kaget. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar berdiri tepat di hadapanku. Rambutnya gondrong, kumisnya tebal, pakaiannya serba hitam juga mengenakan ikat kepala warna senada.

"Anakmu jadi tumbal jembatan ini?" tanyanya dengan suara berat.

Aku mengangguk dengan mulut bergetar, jantung berdegup kencang. Siapa dia sebenarnya?

"Saya Pawan, anaknya Nyi Simah," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Aku menjabat tangannya dengan ragu, lalu bertanya, "Ba-bagaimana Bapak bisa tahu ka-kalau anakku jadi korban tumbal jembatan ini?"

"Pawan selalu mengetahui semuanya. Bahkan, saat kamu memikirkan Nyi Simah, saya mengetahuinya. Bulatkan tekadmu, Neng. Datang saja ke Desa Sukosari, saya akan menunggumu dekat gapura desa," tuturnya.

Aku terdiam mematung, tak percaya dengan semua ini.

"Nyawa harus dibayar nyawa! Balaskan dendam anakmu! Jangan lupa, bawa pakaian dan benda kesayangannya. Saya tunggu kamu besok sampai jam satu siang. Jangan terlalu lama berpikir. Ingat! Nyawa harus dibayar nyawa," ujarnya, lalu secepat kilat pria itu menghilang dari hadapanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tumbal jembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang