bagian 6

14 0 0
                                    

Gadis itu lantas semakin mendekatiku, lalu membisikkan hal yang sulit kupercaya. Aku menyuruhnya untuk menunggu di sini besok jam delapan pagi, dia pun menyetujui. Gadis berhijab itu berjalan disampingku seraya menceritakan tentang dirinya. Dia berasal dari kota dan sedang menginap di rumah saudaranya. Di persimpangan jalan, kami berpisah karena berbeda arah.

Setelah sampai di rumah Ibu, aku langsung membicarakan tentang kejutan untuk Inda. Ibu pergi mengambil kue ulang tahun, sedangkan aku mendekorasi kamar Inda, dibantu teman-temannya.

***

Pukul 15.50, semuanya sudah siap tinggal menunggu Inda datang saja. Kami semua bersembunyi di kamarnya dengan keadaan lampu yang dimatikan. Tak lama kemudian, terdengar Inda mengucap salam, lalu berteriak memanggil Ibu. Kebetulan Nina sedang menyusu sehingga dia anteng tanpa bersuara. Knop pintu pun berputar, Inda berjalan mengendap seraya meraba dinding, detik kemudian aku pun menyalakan lampu.

Inda menangis haru atas kejutan yang telah kami persiapkan, dia memeluk aku, Ayah, dan Ibu bergantian. Teman-temannya pun bergantian memberikan kado, dia tampak sangat bahagia.

"Sekarang umurmu sudah 26 tahun, Neng. Kapan bawa calon ke sini?" goda Ibu.

"Secepatnya, Bu," ucap Inda, tersipu.

Kami larut dalam kebahagiaan, tak lupa menelepon Kang Didi untuk berbagi keceriaan. Andai saja kami punya HP android seperti yang lainnya, mungkin kami sudah melakukan panggilan video. Nina menyusuri dinding dengan riang, sesekali dia terjatuh karena belum bisa menyeimbangkan tubuh dengan sempurna. Ayah dan Ibu bahagia sekali melihat perkembangan cucunya itu, mereka tertawa riang sambil menimang cucu tercintanya.

***

Tak terasa hari sudah malam, Nina sudah tertidur pulas, sementara aku menemani Inda untuk membuka kado.

"Makasih ya, Teh. Gamis dan sepatunya bagus banget, Neng suka," ucap Inda seraya memelukku.

"Sama-sama, Sayang. Mm ... kamu tahu gadis kota yang namanya Rachel gak, Neng?" tanyaku.

"Itu anak majikannya Teh Desi dulu, masa Teteh nggak ingat? Dulu 'kan waktu Teh Desi nikah dia pernah ke sini," jawabnya.

"Oh ... teteh lupa atuh 'kan udah lama. Berarti Desi pindah lagi ke sini, ya?" Aku kembali bertanya.

"Katanya cuma sementara waktu, dia pulang karena ibunya sakit."

Desi adalah teman sekolahku dulu, kami jarang bertemu sejak menikah. Terlebih lagi, dia selama ini tinggal di kota. Mendengar namanya, aku jadi ingat masa-masa remaja. Rasanya ingin sekali kembali ke masa itu, rindu.

***

Mentari telah menampakkan sinar hangatnya, kulihat Nina masih tertidur pulas. Aku bergegas ke dapur untuk membantu Ibu menyiapkan sarapan. Sementara Inda sibuk berdandan karena hendak berangkat kerja. Dia bekerja sebagai kasir di salah satu minimarket dekat pasar yang jaraknya lumayan jauh dari sini.

Beberapa saat kemudian, Nina terbangun. Aku bergegas memandikan dan menyuapinya. Seusai sarapan, Inda dan Ayah pun berangkat kerja. Aku mengambil alih semua pekerjaan Ibu, sementara beliau mengajak Nina bermain. Setelah semua pekerjaan selesai, aku pun pamit pulang.

"Nggak nanti sore saja, Mur? Tunggu Inda atau Ayah pulang. Biar ada yang nganter," ucap Ibu.

"Nggak usah, Bu. Biar jalan kaki saja," jawabku.

"Ya sudah. Hati-hati, ya."

Aku pun bergegas pulang, tidak sabar ingin bertemu Rachel. Aku penasaran dengan hal yang hendak dia sampaikan tentang Adam. Dia duduk di atas motor berwarna putih yang terparkir di tepi jembatan. Setelah saling sapa, aku pun segera menaiki motornya, lalu bergegas menuju rumah.

Setelah sampai rumah, Nina mendadak rewel, dia seperti tidak betah berada di dalam rumah. Sementara gadis itu lagi-lagi berbicara sendiri seraya menangis terisak. Aku semakin kebingungan dibuatnya, dia terus saja menyebutkan nama Adam.

"Mbak mau lihat Adam?" tanyanya, membuatku terkejut.

Aku mengangguk sambil mengerutkan dahi, hati ini terus bertanya-tanya. Apa maksudnya? Dia menyuruhku untuk memejamkan mata, lalu meraba telapak tangan kanan dan mengusap wajahku.

"Sekarang buka matanya, Mbak," ucapnya.

Alangkah terkejutnya aku ketika mata ini terbuka, Adam berada persis di hadapan. Kondisinya sama seperti dalam mimpiku selama ini, wajahnya pucat dan tubuhnya berlumuran semen. Dia menangis seraya mengulurkan kedua tangan. Aku ingin memeluknya, tetapi tubuhnya tak dapat kusentuh. Dadaku terasa sesak, teramat sakit, aku tidak bisa lagi membendung tangis.

"Mbak yang sabar, ya," ucap Rachel seraya mengelus punggungku.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada anak saya, Neng?"

"Adam menjadi tumbal pembangunan jembatan itu, Mbak. Tubuhnya dicor hidup-hidup."

Ucapan Rachel membuat dadaku semakin sesak, amarahku bergejolak. Rasanya ingin berteriak kencang, lalu pergi ke rumah orang-orang kejam itu untuk meminta pertanggungjawaban. Nina yang menangis kencang tidak aku hiraukan, tanganku mengepal, napas pun memburu.

"Mbak yang sabar. Istighfar, Mbak. Kasihan anaknya." Rachel berusaha menenangkan, lalu mengambil Nina dari pangkuanku.

Tubuhku ambruk ke lantai, aku menangis sejadi-jadinya, membayangkan ketika tubuh kurus Adam dicor. Sambil memukuli lantai, aku bersumpah akan membalaskan dendam kepada orang yang telah mengorbankan anak sulungku.

"Jangan, Mbak. Lebih baik ikhlaskan saja, kasihan Adam."

"Ikhlas katamu?! Tidak semudah itu, Neng. Mereka kejam!" Aku tak dapat mengendalikan diri.

"Mbak, lihat Adam!" seru Rachel.

Aku pun mendongak, Adam sedang menangis sesenggukan seraya menggelengkan kepala.

"Bu ... jangan nangis lagi, ya. Aa nggak papa, kok. Aa masih di sini dan selalu menjaga Nina." Adam berlutut di hadapanku.

"Adam, Sayang ... peluk ibu, Nak." Tangisku semakin menjadi, lagi-lagi aku tak dapat menyentuhnya.

"Redam amarahmu, Mbak. Semuanya sudah terjadi, kita tak bisa mengubahnya. Ikhlaskan Adam, maafkan mereka dan jangan menyimpan dendam. Andai ada bukti kuat, mungkin lebih baik mereka dijebloskan ke penjara," ujar Rachel.

"Adam akan selalu di samping Ibu, sekarang Ibu senyum, ya."

"Iya, Sayang," balasku seraya tersenyum.

Detik kemudian, Adam menghilang. Nina berhenti menangis, lalu merangkak menghampiriku. Aku memeluknya erat, sambil menangis sesenggukan. Rachel kembali mengusap wajahku, katanya untuk menutup mata batinku yang sempat dibuka olehnya.

Lagi-lagi dia berpesan agar aku tidak menyimpan dendam terhadap orang-orang yang telah mengorbankan Adam. Aku mengangguk, meski amarah dalam hati masih bergejolak. Gadis itu juga berpesan agar aku mengadakan pengajian dan menyiramkan air doa ke jembatan itu, agar arwah Adam bisa tenang.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Santi dan beberapa orang datang karena penasaran mendengar aku menangis. Dengan gugup, aku berkata bahwa tidak ada apa-apa, hanya sedang rindu kepada Adam. Setelah mendengar penjelasanku, mereka pun bergegas pergi.

Beberapa saat kemudian, Rachel juga pamit pulang. Bayangan tentang bagaimana Adam dicor hidup-hidup di jembatan itu kembali terlintas dalam benak, membuat amarahku semakin memuncak. Aku tidak bisa ikhlas begitu saja. Nyawa harus dibayar nyawa!

Tumbal jembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang