Dekat Yang Jauh
***
Nami berdiri tegak dihadapan Jema, matanya merah dan maskernya basah. Itu adalah pertanda bahwa Nami sedang tidak baik-baik saja. Jema pun sama, ia berdiri kaku memandangi adik kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa. Teriakan dalam hatinya redup tak tersalurkan. Ingin sekali ia memeluk Nami malam itu seraya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Teteapi tidak bisa, pelukannya terhalang tembok tinggi. Jarak mereka dekat tetapi jauh rasanya.
"Je, malam ini gue tidur dimana?" tanya Nami putus asa.
"Malam ini tidur di kontrakan kosong kakek dulu ya Na, besok pagi gue urus biar kita semua bisa PCR."
"Iya, Je" Nami menganggukkan kepalanya yang berarti mengerti. Jema masuk kedalam rumah dan membicarakan hal ini kepada bunda. Walaupun berat rasanya, bunda, kakek, dan nenek harus tau tentang Nami. Mereka hanya terdiam lemas mendengar hal itu, apalagi bunda bisa dibayangkan betapa hancur hatinya. Namun Jema harus tetap kokoh, karna ia sadar saat ini ia sedang menjadi tiang bagi satu rumah besar.
"Jadi malam ini Nami tidur di rumah kontrakan kosong yaa Kek" jelas Jema kepada kakek ia meminta izin untuk meminjam rumah kontrakan kosong itu sementara waktu.
"Iya, Nak" kakek hanya menjawab dua kata dengan suara yang gemetar dan matanya berkaca-kaca. Jangan tanya seberapa hancurnya mereka berempat, sepertinya suasana sunyi mampu menggambarkan itu semua. Jema meminta seisi rumah untuk selalu jaga jarak dan menggunakan masker sampai diketahui hasil dari PCR mereka semua lusa nanti.
Selesai membicarakan hal itu Jema bergegas keluar rumah dan menuju rumah kontrakan kosong tersebut, jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka hanya beberapa langkah saja. Dalam perjalanan melewati pagar, Jema melihat Nami duduk berdiam di sudut jalan sambil menggunakan AirPods ditelinganya. Jema dan Nami dua kesamaan yang sama, ketika sedang bersedih maka musik penolong mereka. Perasaan Jema semakin tak karuan, ingin sekali ia menangis malam itu. Tetapi tidak, Jema memilih untuk terlihat baik-baik saja.
Di Kontrakan Kosong.
Terdapat dua rumah kontrakan kosong berdampingan milik kakek dan nenek. Kebetulan rumah kontrakan itu sedang tidak ditempati siapapun, Jema merapikan salah satu kontrakan tersebut agar bisa ditinggali Nami. Jema meminta agar anggota keluarga yang lain hanya berdiam di rumah, biar ia yang mengurus semuanya.
"Nami!" teriak Jema memanggil Nami yang ada di sudut jalan.
"Iyaaaa, sebentar gue kesitu."
Nami berjalan menuju Jema, dan Nami memberhentikan langkah kakinya ketika jarak mereka sudah hampir dekat tiga meter.
"Yaudah Je, lo keluar dulu aja nanti baru gue masuk" pinta Nami kepada Jema.
"Okay, lo di sini dulu ya Na, nanti semua barang-barang lo gue anter malam ini juga. Butuh apa lagi selain pakaian dan skincare?"
"Sementara waktu itu dulu aja."
"Okay gue balik kerumah dulu ya siap-siap untuk semua barang lo. Besok pagi kita sekeluarga PCR ya Na"
"Iya Je" jawaban singkat dari Nami yang segera masuk ke dalam kontrakan dan menutup pintu dengan sangat hati-hati. Jema membalikkan tubuhnya lalu ia mendengar suara ketukkan pada kaca jendela rumah kontrakan. Ternyata itu adalah Nami yang sedang melakukan bahasa isyarat dengan gerakan tangan Kanan 'A' pada paras dada, lalu ia buat satu pusingan arah jam yang artinya "maaf". Jema hanya memberikan senyum dan kembali membalikkan arah tubuhnya untuk pulang ke rumah.
Jema menutup pagar rumah kontrakan dengan kehati-hatian, air matanya sudah terbendung dan tidak tertahankan. Jema duduk di depan pagar lalu menggigit lengan tangan kanannya. Malam itu ingin sekali Jema berteriak, mengutarakan kepada seisi dunia kenapa ia selalu terpilih untuk diberikan ujian. Teriakan Jema terkubur sangat dalam begitupun juga sedihnya.
Di rumah bersama bunda.
Sesampainya Jema di rumah, ia melihat seisi rumah sepi. Kakek dan nenek yang biasa masih menonton tayangan televisi dan duduk dikursi pun tidak ada. Bukan, bukan karna kakek dan nenek tidur lebih cepat tetapi mereka sedang berdoa di dalam kamar agar mereka sekeluarga selalu berada dalam lindungan Tuhan.
Jema pergi menuju kamar Nami dan ternyata ada bunda di sana, bunda hanya terdiam sambil menyiapkan pakaian untuk dibawa ke rumah kontrakan. Tangannya gemetar, bunda rapuh malam itu.
"Bunda, biar aku aja"
"Nggak usah, sebentar lagi selesai, tadi kamar Nami sudah bunda semprot dengan desinfektan" jawab bunda dengan nada suara yang sedang tidak baik-baik saja namun tetap terlihat tenang.
Barang-barang Nami selesai dikemas, Jema mengambilnya untuk dibawa kerumah kontrakan.
"Aku pergi dulu ya Bun. Bunda mandi setelah itu tidur."
"Iya sayang, terima kasih Je."
"Untuk apa bun?"
"Untuk menjadi kokoh padahal kamu hampir runtuh."
Bunda mengakhiri pembicaraan dan segera masuk ke dalam kamar. Jema masih terdiam bingung, bagaimana bisa bunda paham apa yang ia rasa malam itu. Jema keluar rumah dan menuju ke rumah kontrakan. Sesampainya di sana ia mengetuk pintu rumah kontarakn yang ditempati oleh Nami.
"Na barang-barang lo udah semua ya"
"Iya letakkan di depan pintu aja Je" jawab Nami yang saat itu sedang duduk di balik pintu.
Jema ikut duduk di balik pintu rumah kontrakan tersebut, jadi saat itu mereka berdua duduk bersandar namun dibatasi oleh pintu.
"Makasih ya Je udah jadi kakak gue."
"Sama-sama" jawab Jema.
"Kalau gak ada lo, gue gak tau sekarang harus gimana Je. Dari dulu lo selalu jadi penyelamat gue" Nami melanjutkan kalimatnya, "Lo yang ngajarin gue untuk selalu kuat dan berusaha. Gue bisa sampai ada di titik ini berkat bunda sama lo Je."
"Berkat kita selalu sama-sama, berkat kakek dan nenek yang udah selalu sayang sama kita sedari kita kecil."
"Hidup ternyata seberat ini ya Je" suara Nami terdengar samar beberapa kali ia juga menarik nafas lalu membuangnya perlahan.
"Kita pernah lewatin yang lebih berat dari ini sebelumnya Na dan kita bisa" jawab Jema menenangkan.
"Gue pengen peluk bunda Je. Gue sedih banget gak sempat pamit sama bunda pagi tadi pas mau berangkat kerja."
"Nanti kan bisa video call."
"Ayah apa kabar ya Je sama keluarga barunya? Kira-kira pernah gak ya dia kangen sama kita Je?" pertanyaan yang sangat sulit Jema jawab sedari kecil. Pertanyaan yang juga tidak ingin Jema dengar dan berharap pertanyaan itu tidak pernah ada. "Pernah pasti" jawab Jema singkat.
"Maaf ya Je"
"Gak usah minta maaf terus bisa gak sih? Belum lebaran soalnya"
"Ya kali Je minta maaf tunggu lebaran dulu."
Setelah mendengar kalimat itu Jema tersenyum kecil, setidaknya ia bisa melihat adiknya kesal akan jawabannya. Itu membuat Jema merasa lebih hidup daripada harus melihat Nami larut dalam kesedihannya.
"Gue pulang ya Na"
"Iya Je hati-hati."
Mereka berdua berdiri dan kini saling berhadapan di kaca jendela, seperti biasa Nami melakukan bahasa isyarat dengan gerakan tangan kanan terbuka dengan tapak ke dalam lalu dikenakan pada bibir dan digerakkan ke depan yang artinya "terima kasih". Jema hanya tersenyum kecil dan melambaikan tangannya. Malam itu mereka tutup dengan haru dan sedikit bahagia. Karena rupanya sudah hampir satu minggu Jema dan Nami enggan bertegur sapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU DINDING KAYU
Short StorySiapa bilang cinta hanya tentang laki-laki dan perempuan? Atau tentang pasangan yang sedang kasih dan mengasihi. Kali ini, untuk pertama kali saya diajak mereka berkeliling dalam cinta antara Jema dan Nami. Dua anak perempuan kakak beradik yang yan...