Kemeja Biru
***
Suara jam dinding berbunyi 6 kali, pertanda hari mulai pagi. Jema kecil terbangun menatap langit-langit kamarnya. Ia terdiam mendengar suara ishak tangis bunda dari balik pintu. Pagi itu diawali dengan perasaan marah dan sedih. Jema beranjak dari tempat tidur dan menarik nafas panjang, umurnya hanya 10 tahun. Pada hari itu sekolahnya mengadakan lomba membaca puisi.
"Bunda, aku bangun"
"Iya sebentar"
Suara bunda terdengar sama, tapi seperti rutinitas Jema tau apa yang sedang dilakukan bunda. Bunda membuka pintu kamar Jema dengan menggenggam handphone genggam milik ayahnya.
"Jema mau mandi sekarang?"
"Iya Bunda"
Jema tidak banyak bertanya, seperti ia sudah tau jawabannya. Anak seumurnya saat itu seharusnya sedang dalam fase yang sangat bergembira untuk datang kesekolah tapi tidak dengan Jema.
"Nami bangun"
Jema membangunkan Nami yang saat itu masih tertidur pulas menggenggam guling kesayangan miliknya. Sekali lagi "Nami banguuuun!" teriak Jema sambil menyentuh punggung belakang Nami.
Nami terbangun dan menangis, karna terkejut mendengar suara Jema yang mengganggu tidurnya. Saat itu Nami berumur 6, ia belum resmi masuk sekolah dasar.
"Udah jangan dibangunin, Je. Kasihan dia masih ngantuk"
Jema berdiri dan bergegas untuk mandi. Saat sedang menuju kamar mandi, Jema melihat kemeja biru yang basah seperti habis disiram air.
"Ini punya ayah, Bunda? Kok basah"
"Hujan semalam tu"
Lagi-lagi ia seperti mengerti bahwa seharusnya pertanyaan itu tidak terucap dari mulutnya. Bagaimana bisa hujan sedangkan pagi itu sangat panas. Lagi pula Jema juga mendengar beberapa kali teriakan antara bunda dan ayah. Jema menatap bunda dengan tatapan yang tidak biasa. Ia hanya kecewa karna bunda sangat sering menutupi kesalahan ayahnya.
Saat ini Jema sudah siap berangkat ke sekolah, Jema menyiapkan beberapa puisi yang sudah di buatnya. Isinya tentang Ibu, laut bahkan pegunungan. Jema sangat suka membuat puisi lalu membacanya dihadapan temab-temannya.
"Bunda aku jalan dulu ya"
"Pamit sama ayah dulu sana"
"Masih tidur tadi aku cek ke kamar"
"Yasudah, hati-hati sayang"
Jema mencium tangan bunda, dan bunda selalu mengusap rambutnya. Jema berangkat, pergi ke sekolah dengan tas merah muda digendongnya. Dengan perasaan yang sedang tidak baik ia melangkahkan kakinya menuju sekolah. Tidak lupa bunda membawakan bekal untuk makan siang. Keuangan keluarganya yang sangat pas-pasan membuat Jema harus selalu membawa makan siang dari rumah.
Di sekolah.
"Pagi Pak Syarif"
"Pagi Jema"
Di parkiran sekolah Jema melihat beberapa temannya yang diantar sang ayah sampai masuk ke dalam sekolah. Atau beberapa temannya yang sedang berpamitan dengan ayah mereka dan segera masuk ke dalam sekolah.
"Jemaaa"
Itu Alma, teman sekolah Jema yang sangat dekat dengannya. Alma teriak dari kaca jendela mobil, pagi itu Alma diantar ayahnya. Mobil itu berhenti didepan Jema dan Alma pun turun dari sana.
"Pagi Om Heri"
"Pagi Jema, lho nggak diantar?"
"Enggak Om, bundaku lagi antar Nami ke sekolah"
"Nami sudah sekolah?"
"Iya tapi TK belum SD"
Jema mencium tangan om Heri ayahnya Alma. Lalu Alma menggenggam tangannya untuk masuk ke dalam kelas bersama. Jema tersenyum bahagia, paginya tidak terlalu buruk hari itu. Terima kasih Tuhan telah membumbui pagi Jema yang sempat tiada rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU DINDING KAYU
Short StorySiapa bilang cinta hanya tentang laki-laki dan perempuan? Atau tentang pasangan yang sedang kasih dan mengasihi. Kali ini, untuk pertama kali saya diajak mereka berkeliling dalam cinta antara Jema dan Nami. Dua anak perempuan kakak beradik yang yan...