Pagi Yang Malam

26 1 0
                                    

Pagi Yang Malam

***

Matahari sudah terbit, jendela kamar Jema yang sudah diseludupi sinar terang pagi itu. Jema terbangun duduk diam di atas tempat tidurnya memandangi jendela kamar yang sedari tadi sudah mulai terang.

Tok..Tok..Tok

Ketukan pintu terdengar suara lembut dari balik pintu yang setiap pagi ia dengar. Sedikit lega hatinya, pagi itu masih lumayan waras baginya.

"Je, bangun sayang"

"Sudah, Bun"

Jema bangkit dari tempat tidurnya, menarik nafas panjang karena hari ini belum tau kapan akhirnya. Langkah kaki perlahan menuju pintu.

"Bunda sudah masak telur rebus, Jema mau roti atau nasi?"

"Telur aja, Bun. Nami gimana?"

"Sudah tadi Bunda antar makanan ke sana. Nanti Nami naik apa?"

"Sama aku aja"

Jema mengambil sarapannya dan segera masuk kembali ke dalam kamar.

Whatsapp

"Udah bangun, Na?"

"Udah dari subuh. Kenapa?"

"Nanti lo sama gue ya ke Klinik"

"Iya"

"Mandi dulu, Na. Jangan dekil"

"Cot"

Begitulah mereka, tidak terlalu sering bertegur sapa bahkan mengetik pesan singkat.

Di motor

Nami naik ke motor yang dikendarai Jema dengan memberi jarak yang sangat jauh karna menjaga kakaknya agar tidak tertular. Ia menggunakan masker double sekaligus hoodie dengan sarung tangan. Nami juga tidak mengeluarkan satu kata apapun pagi itu, ia hanya terdiam dan sesekali menggenggam tangannya sendiri.

"Takut ya?"

"Ga"

"Jangan takut, Na"

"Iya"

Percakapan cukup singkat yang terjadi di pagi hari itu. Bunda, Kakek dan Nenek pergi bersamaan.

Sesampainya di Klinik mereka langsung mengambil antrian, Jema sibuk mengurusi beberapa berkas dan hasil antigen Nami untuk di tunjukkan kepada petugas Klinik tersebut. Sedangkan Nami duduk menjauhi banyaknya kerumunan orang di sana. Ada yang nasibnya sama, sedang bersiap untuk tes PCR paska hasil antigen yang tidak menyenangkan. Nami di sudut kiri rumah sakit, sendiri menggunakan hoodie sedang melihat sekeliling Klinik itu.

Antrian satu persatu disebut, hasil PCR akan mereka terima di sore hari. Mereka pulang dengan perasaan tak karuan. Di atas motor Jema bergumam lagu yang sama

"Kasih ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia"

Bukan, Jema tidak tenang sama sekali. Lagu itu iya nyanyikan untuk menenangkan perasaannya yang tak karuan sambil sesekali melihat adiknya lewat kaca spion motor sebelah kanan. Lagi-lagi Jema melihat masker Nami basah untuk yang kedua kalinya.

"Kenapa, Na? Laper?

"Kangen Bunda"

"Nantikan pulang, hasilnya pasti negatif"

Tidak ada jawaban Nami hanya terdiam dan memejamkan matanya. Siapa yang tau hati seseorang ada sakit yang tidak terlihat dan tidak terdiagnosa. Sakit yang lebih parah dari sakit yang bergejala.

Siangpun tiba, di dalam kamar Jema sesekali merefresh inbox emailnya. Berharap hasil dapat keluar lebih cepat. Ingin sekali Jema berlari kea rah Nami lalu mengusap rambutnya seraya berkata "anak kuat nggak boleh cengeng, ya!" seperti yang selalu ia katakana waktu kecil dulu. Dewasa bukan hal yang ramah, kadang prosesnya harus melalui penghancuran yang semena-mena tapi itu serta merta untuk membangun hati agar tidak mudah dikoyak.

Inbox email Jema berbunyi, terlihat dari Klinik Matahari. Sebelum membuka isinya Jema berdoa "Semoga Tuhan selalu melindungi kami" pintanya.

SATU DINDING KAYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang