Boneka Beruang Merah
***
Jum'at Malam Pukul 20:30
Jema masih berdiri kaku di depan teras rumah malam itu, siapa sangka hal yang paling ia takuti terjadi pada adiknya sendiri. Tangannya gemetar memegang telepon genggam. Ia menutup mata, memikirkan jawaban apa yang akan ia lontarkan untuk Nami setelahnya. Jema menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan.
"Je?" Nami menyebut nama Jema.
"Sekarang lo dimana Na?"
"Masih di depan klinik Je"
"Yaudah lo pulang dulu aja ya sekarang"
"Iya Je" telepon ditutup, Nami bergegas untuk kembali ke rumah. Dengan air mata yang masih terus saja mengalir di pipinya ia mengendarai motor dengan pikiran yang kacau bertaruh pada malam akan seperti apa esok hari baginya
Sementara Jema masuk ke dalam rumah, melihat bunda, kakek dan nenek yang sedang duduk menonton tayangan televisi kesukaan mereka. Jema bingung, rasanya seperti mimpi. Ia menuju kamar untuk memikirkan hal selanjutnya. Sambil menatapi foto kecilnya yang tersenyum lebar di sudut kamar. Jema memikirkan kembali akan peristiwa menakutkan baginya 18 tahun yang lalu.
2003.
Saat itu cuaca sedang mendung, Jema sedang asyik memeluk boneka beruang merah di teras rumah. Jema berumur 5 tahun di tahun itu, rambutnya yang panjang dikuncir menjadi dua. Anak manis yang sangat patuh terhadap orang tua. Jema duduk sambil menyanyikan sebuah lagu untuk boneka beruang merahnya.
"Nina bobo, oh nina bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk" Jema kecil mengulangi kalimat itu beberapa kali. Suaranya yang merdu bercampur angin dengan cuaca yang mendung sore itu.
Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara motor Vespa dari kejauhan. Betul, ayahnya pulang. Jema bergegas lari keluar rumah untuk menyambut hangat sang ayah. Tidak perlu menunggu lama, Vespa berwarna biru muda milik ayah sudah terparkir di halaman rumah.
"Ayaaaaah" teriak Jema menghampiri.
"Anak ayah sudah mandi" sambil menciumi pipi Jema, ayah melangkah masuk kerumah.
"Tunggu di sini sebentar ya, ayah mandi dulu"
Ayah meninggalkan Jema yang sekarang kembali duduk di teras rumah, dihampiri bunda yang baru saja pulang membeli lauk pauk di gang sebelah. Saat itu bunda sedang menggendong Nami yang masih berumur 1 tahun.
"Bunda, permen cokelat yang aku titip tadi ada?" tanya Jema sambil melihat isi plastik yang dibawa bunda.
"Enggak ada sayang, habis. Ini bunda belikan Jema biskuit cokelat. Enak juga" jawab bunda sambil memberikan biskuit itu kepada Jema.
"Jema tolong jaga Nami sebentar, boleh main disini dulu ya?"
"Boleh bunda" jawab Jema.
Bunda melepaskan Nami dan menghampiri ayah yang sudah selesai dari kamar mandi. Bunda menutup pintu kamarnya. Di teras rumah hanya ada Jema dan Nami. Saat sedang menujukkan boneka beruang merahnya kepada Nami yang saat itu belum mengerti, Jema mendengar suara tangisan dari dalam kamar bunda.
"Kamu enggak lembur kan Mas, kamu bohong. Aku telepon Andi dan dia bilang kamu sudah pulang sejak sore kemarin. Kemana aja kamu semalaman Mas? Astagfirullah."
Begitu kalimatnya yang masih bisa Jema ingat. Tangisan bunda semakin lama semakin terdengar. Jema kecil takut, ditambah hujan deras yang menyelimuti sore itu. Jema memejamkan matanya sambil memeluk Nami. Beberapa kali juga ia menutup telinga Nami dan memberikan boneka beruang merah miliknya.
"Kamu pikir aku berbuat apa? Jawab!!" Suara teriakan ayah kini mulai terdengar. Membuat Jema semakin takut untuk membuka matanya. Anehnya, dua tangan Jema digunakan untuk menutup telinga Nami bukan telinganya. Mungkin pada saat itu Jema berpikir untuk tidak mewariskan peristiwa menakutkan di masa depan adiknya.
Pecahan kaca mulai terdengar, tangisan bunda kian lama kian samar. Entah kaca apa yang pecah kala itu. Yang jelas lebih besar dari sekedar piring di dapur.
Ayah membuka pintu kamar dan bergegas pergi keluar, menyalakan motor Vespa biru muda yang beberapa menit lalu diparkirnya di halaman rumah. Ayah mengendarai motornya dengan cepat ditengah hujan. Suara motor Vespa ayah mulai menghilang, pertanda ayah sudah jauh dari rumah.
Jema menggendong Nami berserta boneka beruang merahnya menuju bunda. Ia membuka pintu kamar bunda menggunakan siku tangan kanannya.
"Bunda" sapa Jema setelah membuka pintu kamar, ia melihat seisi kamar penuh dengan pecahan kaca dari lemari pakaian ayah dan bunda.
Bunda yang saat itu sedang membereskan serpihan kaca sontak terkejut dengan kedatangan Jema, "Jema diam sebentar ya sayang, bunda rapikan dulu pecahan kacanya. Jangan mendekat nanti telapak kakimu luka".
Jema berdiri terdiam di depan pintu kamar dan masih menggendong Nami ditangannya.
"Bunda, Nami?" tanya Jema.
"Sebentar, Jema dan Nami boleh kembali ke teras rumah sayang?"
"Boleh, Bunda"
Jema kembali ke teras rumah dan menidurkan Nami lalu bunda datang menghampiri.
"Kenapa ayah, Bunda?" tanya Jema bingung "Kenapa pecah kaca lemari punya Bunda?" lanjutnya.
"Ayah capek bekerja sayang, sekarang lagi mencari udara segar. Tadi engga sengaja kaca lemari pakaian bunda kesenggol dan jatuh" jelas bunda menenangkan.
"Kenapa Bunda nangis?" Jema bertanya dengan kebingungannya atas air mata yang terus mengalir di pipi bunda. "Apa Bunda dimarah ayah?" Jema kecil melanjutkan pertanyaannya. Bunda terdiam dan hanya mengelus-elus kepala Jema, karena pada saat itu bunda masih belum sanggup untuk berkata-kata.
Jema masih melihat mata bunda dengan penuh kebingungan, lalu tangannya mengusap sisa air mata di pipi bunda dan berkata "Nanti besar, Jema yang jaga bunda dan Nami. Biar bunda engga sedih".
Air mata bunda sekarang membanjiri pipinya, bunda pun melihat Jema dan berkata "Siapa yang mau berbagi biskuit cokelat dengan bunda?".
"Aku mau bunda, aku mau" jawab Jema dengan gembira.
Sore itu ditutup dengan biskuit cokelat yang dimakan bersama. Jema masih bingung apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi yang paling penting, pelukan bunda untuknya dan Nami' selalu hadir sebelum mereka memejamkan matanya disetiap malam.
Jum'at malam di kamar Jema.
Telepon genggam Jema berdering.
Jema mengangkatnya dan mendengar suara Nami "Halo Je gue udah di depan gerbang rumah ya".
"Oke tunggu sebentar gue kesana" jawab Jema dan segera berlari keluar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU DINDING KAYU
Short StorySiapa bilang cinta hanya tentang laki-laki dan perempuan? Atau tentang pasangan yang sedang kasih dan mengasihi. Kali ini, untuk pertama kali saya diajak mereka berkeliling dalam cinta antara Jema dan Nami. Dua anak perempuan kakak beradik yang yan...