Prolog

33 17 8
                                    

       Malam ini, hujan melanda kota Jayakarta, gemericik air menghiasi wilayah kota yang sedikit sepi.

Aku berjalan menyusuri parkiran sekolah yang gelap, jika ada bertanya sedang apa aku malam-malam begini di sekolah? Jawabannya karena aku mempunyai tugas Biologi yang harus segera aku kumpulkan, dan malam ini—tepatnya jam delapan malam adalah deadlinenya.

Sialnya, aku lupa tugas tersebut kemudian aku mengerjakan nya pada detik-detik waktu pengumpulan habis. Syukurlah, setidaknya aku tidak sia-sia harus melewati hujan dan pakaianku sedikit basah, tapi aku tidak akan dihukum besok pagi atau jika lebih buruknya tugasku akan bertambah.

Bu Lina, seorang guru biologi yang meminta ku untuk langsung mengumpulkan tugas ke mejanya. Ya, meja diruang guru yang ada di sekolahku. Beliau memang dikenal tegas dan sedikit killer, begitu sebutannya, maka tidak heran jika aku disuruh mengantarkan nya langsung ke sekolah. Tidak apa-apa ini juga demi masa depanku, jangan sampai besok kulitku harus merasakan teriknya matahari di lapangan.

Setelah lumayan lama berjalan melewati koridor dan tangga, akhirnya aku sampai di depan ruang guru. Sebelumnya aku mengetuk pintu, kemudian tidak terdengar apapun didalam. Langsung saja aku masuk karena memang Bu Lina memberitahu ku jika pintu ruangan tidak dikunci.

Saat masuk, hanya keheningan yang ada di ruangan ini. Kupikir, Bu Lina ada disini, karena memang biasanya dia ada disini dengan beberapa guru lain yang mempunyai hal tambahan. Aneh sekali, tapi ya sudahlah.

Aku langsung meletakkan tugasku di meja Bu Lina, kemudian hendak keluar ruangan, namun sebelumnya, aku melihat refleksi diriku di cermin yang terpasang di tembok.

Aku menatap bayangan diriku, lalu tersenyum lebar dan kemudian segera menghentikan nya saat mendengar suara pintu terbuka. Jika ada yang melihat ku barusan, orang itu pasti mengira aku sudah gila karena tersenyum sendiri tidak jelas.

"Tiara."

Ya, namaku adalah Tiara, dan yang memanggil ku barusan adalah Ibu Lina, aku tahu suaranya tentu saja.

"Bagus, ibu kira kamu mau hukuman besok." Aku segera menengok ke arah Bu Lina dan tersenyum kikuk, sedikit malu karena aku terlambat mengumpulkan tugas.

"Maaf Bu, saya lupa kalau ada tugas biologi. Untungnya Andi memberitahu saya. Sekali lagi maaf Bu," ucapku sambil sesekali sedikit membungkukkan badan saat mengucapkan kata maaf. Itu sudah menjadi kebiasaanku saat mengucapkan maaf pada orang.

Bu Lina mengangguk, ku mohon ... maklumi aku, jangan marah bu.

"Andira bilang, dia memberitahu kamu kemarin, tapi kamu malah tidak membuka pesannya. Apa karena kamu sibuk membalas pesan dari pacar kamu Tiara?" Ya ... memang aneh jika berharap Bu Lina ini tidak marah, tidak mungkin dia kalem. Ngomong-ngomong Andira itu ketua di kelasku.

"Seharusnya kamu lebih mementingkan sekolah dan tugas kamu dibanding pacar pacaran tidak jelas. Paham Tiara?!" Sekarang, Bu Lina malah menaikkan satu oktaf suaranya lebih tinggi. Sedangkan aku, hanya menunduk dan mendengarkan semua nasihat atau bahkan ocehan, dari Bu Lina. Menyebalkan.

Telingaku terasa panas mendengar nya, walau sudah biasa menerima ini, tapi tetap saja telingaku juga normal, tentu aku juga tidak ingin terus-terusan mendengarkan ocehan yang membuat hati sendiri merasa dongkol.

Mencoba menghindari tatapan membunuh Bu Lina, Aku mengarahkan pandanganku pada setiap sudut ruangan tempat ini. Sampai penglihatanku menangkap bayangan siluet seseorang yang berjalan perlahan melewati pintu.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu karena minimnya penerangan di ruang guru ini. Tapi aku melihat jika orang itu menuju ke salah satu meja guru dan mengambil sesuatu seperti—gunting?! Ya, itu memang gunting! Untuk apa dia mengambil gunting?

"Tiara! Apa yang kamu lihat? Dengarkan saya–Tiara–kamu–"

Aku tidak terlalu mendengar jelas ucapan Bu Lina yang ada di depan ku saat ini. Aku hanya fokus pada seseorang yang berada di belakang Bu Lina yang semakin dekat dengan posisi kami berdiri.

Nafasku memburu sembari terus memperhatikan orang itu, dia mengangkat perlahan gunting yang berada ditangan kirinya. Aku bisa melihat satu tarikan kecil bibirnya, kemudian dia menancapkan gunting itu dibahu kiri Bu Lina.

Mengerikan, sangat mengerikan! Aku melihat secara langsung bagaimana ujung gunting yang lancip itu menembus kain dari pakaian Bu Lina, dan seakan mendarat sempurna di kulit sampai mencapai tulang.

Orang itu kemudian mencabut gunting tersebut dan langsung mengarahkan nya pada bahu yang kanannya lagi .
Mataku membulat, menyaksikan darah yang mengucur membasahi kain dari baju serta erang kesakitan yang keluar dari mulut Guru Biologi di depan ku.

Tubuhku bergetar seakan merasakan sakit yang Bu Lina rasakan. Orang itu kembali mengambil gunting yang tertancap, kemudian menusuk dan menyayat leher Bu Lina, aku semakin dibuat takut saat lagi-lagi darah mengalir keluar dari leher Bu Lina. Jantungku berdetak kencang, bisa kurasakan air mata mulai membasahi pipiku.

Tidak ada yang bisa kulakukan, kenapa tubuhku seperti kaku dan tidak bisa bergerak? Sial! Bu Lina juga tidak melawan, orang itu juga kenapa melakukan nya dengan sengaja di depan ku dan apa tujuan sebenarnya dia melakukan ini? Aku benar-benar takut sekarang, rasanya di kakiku ada lem yang merekat kuat pada lantai sehingga aku juga tidak bisa melarikan diri.

Aku semakin merapatkan gigi-gigi ku, mataku masih melotot menyaksikan kejadian ini. Orang itu terus menusuk, menyayat, dan mengeluarkan gunting itu berkali-kali. Semua luka terjadi pada bagian tangan, leher, wajah, dan yang terakhir dia lakukan di bagian mulut.

Darah tak henti-hentinya mengalir sampai membasahi baju seragam guru yang Bu Lina pakai, wajah Bu Lina kulihat sudah penuh dengan darah, dan kurang dari satu menit, Bu Lina sudah terjatuh tidak sadarkan diri.

Aku berteriak, berusaha mengguncang kan tubuh Bu Lina yang tidak berdaya dengan mata yang masih terbuka. Aku tahu, Bu Lina mungkin sudah tewas saat ini, tidak ada yang bisa ku lakukan selain berteriak karena panik.

Sedangkan orang itu segera berlari keluar dari ruangan. Aku tak akan membiarkan nya begitu saja, apapun yang terjadi aku akan mengejar nya dan harus tahu siapa dia.

Ya Tuhan, kenapa malah jadi seperti ini. Aku hanya berniat mengumpulkan tugas tapi malah terjadi sesuatu yang tidak terduga.

Koridor yang gelap, suara petir bergemuruh seakan menambah suasana mencekam dan membuat ku semakin takut. Kakiku terus berlari mencoba menyusul seorang pembunuh yang saat ini masih memegang sebuah gunting ditangannya, dia berlari mungkin mencoba menghindari ku. Tidak, aku tidak berani, hanya saja kakiku yang terus berlari seakan ingin sekali untuk mengejar orang itu.

"Hei! Siapa kamu?! Jangan lari!" Kurasa teriakanku dapat terdengar walau suara hujan dan petir lebih keras, tapi orang itu malah tetap melanjutkan pelariannya.

Sial, hujan semakin deras, aku mulai kelelahan dan penglihatanku sedikit kabur karena air hujan. Tapi aku sadar, saat ini aku berada di gerbang belakang sekolah, pembunuh itu kabur kearah sini.

Nafasku semakin memburu, udara dingin terus-menerus masuk dan menghampiri tubuhku sampai menggigil. Aku berusaha terus mengejar dan melihat orang itu yang semakin jauh dan semakin tidak terlihat. Aku gagal mengejar nya, siapa orang itu? Untuk apa dia melakukan nya?

Sebelum aku mendapat jawaban dari pertanyaanku dengan kesadaranku yang mulai hilang, aku dapat melihat jika orang itu membuang guntingnya, kemudian dia kembali berlari memasuki semak-semak belukar dan menghilang dari pandanganku.

Hidden LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang