Lagi-lagi Andira. Sudah ke-tiga kalinya aku bertemu dengan dia di tempat yang sama. Kali ini apa lagi yang dia lakukan.
"Andi?" ucapku.
Sama sepertiku, Andi juga nampaknya terkejut dengan keberadaanku. Dapat kulihat matanya yang besar membulat dan garis wajahnya yang terlihat tegang, tapi ia masih berusaha tersenyum, bahkan itu senyum yang dipaksakan. Ekspresinya persis seperti anak-anak yang ketahuan berbohong memakan sayur padahal nyatanya memakan cokelat—lupakan. Tapi memang benar, ekspresi Andi itu seperti orang yang ketahuan sedang menguntit. Mungkinkah dia kembali mengikutiku? Jika memang dia berada di sana dari tadi, kenapa aku sama sekali tidak menyadarinya?
"Kamu ngapain di sini, Tiara?" Andi berucap dengan sedikit terbata-bata. Membuatku mengerutkan kening karena merasa aneh, pasti ada yang tidak beres. Jelas sekali dia terlihat gugup begitu, walau aku sendiri sebenarnya panik karena keberadaannya tiba-tiba.
Aku sendiri takut karena Andi bisa saja melaporkan jika aku diciduk olehnya sedang berada di sekitar TKP, tapi jika kupikir lagi, sikapnya itu juga mencurigakan, aku juga bisa melaporkannya balik jika dia benar-benar melaporkanku. Pasalnya, kami bertemu tidak hanya sekali di tempat yang sama.
"Tiara …."
Aku yang baru saja bengong langsung menengokkan kepala ke arah Andi. Alisku masih bertautan dari tadi, karena aku masih penasaran.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Andi, lagi. Benar juga, aku terlalu fokus pada pikiranku sampai melupakan pertanyaan Andi. Apa yang harus kujawab? Ayolah, Tiara … jika kau tidak menjawab dengan cepat maka dia akan mencurigaimu! Ingin sekali aku langsung bertanya menuntutnya balik, sendirinya sedang apa dia di sini tapi itu akan terkesan jika aku mencurigainya.
"Tidak." Sial! Apa yang kukatakan? Tidak? Tidak apa? Bodohnya, alasan apa yang harus kuberikan.
"Tidak, kok. Cuma … lewat. Soalnya tadi habis olahraga. Cuma lari-lari, sih!" Haha, aku sendiri tertawa singkat agar lebih meyakinkan. Terkadang, aku bersyukur karena diriku ini pandai sekali mencari alasan. Dan untungnya, pakaianku saat ini memang cocok untuk dipakai olahraga berlari jogging dan semacamnya.
Aku lihat Andi membulatkan bibirnya sekilas, kemudian dia juga ikut tertawa singkat sepertiku, dan kepalanya mengangguk-angguk.
"Tiga kali, ya, kita ketemu." Aku kembali tertawa ringan setelah mengucapkan itu. Dan Andi hanya mengangguk sebagai tanggapan, mulutnya hanya diam tak mengeluarkan kata-kata lagi.
Ini saatnya. Ada kalanya kita bertukar posisi dengan lawan bicara.
"Kamu sendiri, ngapain di sini?" Aku berusaha bertanya dengan nada biasa seperti bertegur sapa, kuusahakan untuk tidak menunjukkan nada menuntut seperti Andi tadi, dan sekeras mungkin aku tidak memperlihatkan rasa panik.
Jantungku sebenarnya sudah berdetak lebih kencang dari tadi, untungnya hal seperti itu tidak dapat terlihat oleh mata telanjang. Mimik muka kuatur senatural mungkin, jangan sampai Andi tau kalau aku sedang diciduk olehnya.
"Hmm …." Andi mengusap-usap tengkuknya dengan tangan kanan, tak lama hanya sebentar. Setelah tangan kanannya turun, kemudian beralih jari-jari tangan kirinya menggaruk pipi kirinya sendiri, itu pun hanya sebentar. Sepertinya dia juga bingung ingin menjawab apa, ya itu jika Andi memang sedang mengikutiku karena curiga.
"Kalung," ucapnya sambil mengangguk.
Satu alisku terangkat, heran. Kata pertama yang Andi katakan justru jauh dari perkiraanku.
"Kalung yang kemarin, belum ketemu, 'kan. Jadi aku ke sini lagi buat cari." Setelah itu Andi merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kalung warna hitam dengan bandul taring dan silet padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Lie
Mister / ThrillerJelas-jelas aku melihat ibu guru itu dibunuh oleh seseorang. Tapi kenapa mereka mengatakan jika aku berbohong? ___________________________________________ Aku adalah satu-satunya saksi mata terjadinya pembunuhan di sekolahku. Korbannya seorang guru...