Part 8. Jihan Anindira

165 21 1
                                    


"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya seorang wanita berseragam yang duduk di balik meja resepsionis itu kepada lelaki yang baru saja datang.

"Saya mau bertemu dengan Pak Abinaya, bisa?"

"Apa sudah ada janji?"

"Belum."

"Maaf, harus ada janji dulu kalau ingin bertemu Pak Abinaya."

"Katakan padanya, saya Fabian Aji Winata, ingin bertemu dengan Pak Abinaya untuk keperluan bisnis," ucapnya dengan angkuh dan mengintimidasi.

"Ta--tapi, Pak ...."

Tatapan setajam silet membuat petugas resepsionis itu tergagap. "I--iya, Pak, sebentar saya hubungi dulu Pak Abinaya."

"Siska, ada apa?" Tiba-tiba Umar datang menginterupsi ketegangan di meja resepsionis.

"Ini, Mas ... Bapak ini mau ketemu Pak Abi," jawab Siska urung memencet tombol telepon.

Umar pun menoleh. "Maaf ... Pak Abinaya tidak terbiasa menerima tamu tanpa janji terlebih dahulu, dan kebetulan saat ini beliau sedang sibuk," jelas Umar dengan tersenyum sopan.

"Kau bahkan belum menanyakan padanya, tapi sudah mengatakan dia tidak mau menemuiku. Telepon dia sekarang dan katakan bahwa Fabian ingin bertemu dengannya!" tegas lelaki itu.

"Tapi---"

"Umar!"

Sontak kedua lelaki itu pun menoleh ke asal suara. Tampak Abinaya berjalan mendekat dari arah lift. Fabian menatap tajam lelaki berkemeja putih itu dengan senyum miring.

"Saya ada keperluan, tolong kamu handel semua pekerjaan. Jika ada yang penting, telepon saya!" pintanya kepada Umar ketika sudah di hadapan sang asisten.

"Maaf, Pak, ada tamu yang mau ketemu Bapak." Umar menunjuk Fabian dengan jempolnya.

Abinaya menoleh ke arah Fabian yang berdiri tak jauh darinya. Ia pun mengernyit merasa tak mengenali lelaki itu. Fabian berjalan mendekat sambil mengulas senyum.

"Pak Abinaya?"

"Iya, saya Abinaya. Anda ...."

"Perkenalkan, saya Fabian Aji Winata." Lelaki itu pun mengulurkan tangan yang disambut hangat oleh Abinaya.

"Maaf, ada perlu apa Anda mencari saya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Abinaya.

"Kita memang belum pernah bertemu, tapi nama Anda sebagai pengusaha otomotif sukses membuat saya tertarik untuk datang kemari." Fabian terkekeh.

"Anda berlebihan, Pak Fabian." Sosok tegap itu tersenyum merendah. "Tapi, maaf, saat ini saya sedang terburu-buru. Jadi kalau memang Anda ada perlu, kita bisa buat janji untuk berbincang," lanjutnya.

"Oh, ya ... maaf sudah mengganggu waktu Anda, kalau begitu saya pamit dulu. Sampai bertemu kembali lain waktu."

"Gak apa-apa, Pak Fabian. Senang bertemu Anda," ujar Abinaya. Fabian pun pamit dan berlalu dari kantor Abinaya.

"Apa kau pernah mendengar namanya?" tanya Abinaya pada Umar setelah Fabian pergi.

"Tidak, Pak. Agak aneh, tadi dia seperti memaksa untuk ketemu Pak Abi, sikapnya terkesan angkuh dan arogan," ujarnya.

"Ya sudah, gak usah dipikir. Saya pergi dulu. Kalau ada yang penting telepon saya," titahnya.

"Baik, Pak."

Lelaki pemilik tinggi 178 senti itu pun melangkah menuju parkiran. Dia tak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasinya di dalam sebuah mobil.

"Abinaya ... jangan pernah bermimpi untuk mengambil Jihanku." Ada kebengisan tergambar di sorot mata itu.

Jejak LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang