Part 9. Hukuman Fabian

152 21 2
                                    


"Jika bukti-bukti itu masih kurang, saya punya satu bukti lagi yang tidak akan bisa disangkal," tegas Fabian dengan senyum kemenangan.

"Apa itu?" tanya Abinaya.

"Ada sebuah tanda lahir di tubuh Jihan. Tepatnya di punggung kiri atas."

"Indira, bisa kami melihatnya?" Abinaya masih berharap bahwa Indira bukanlah Jihan dan tidak ada tanda lahir di sana.

Gadis itu menggeleng berkali-kali dengan air mata yang semakin rebas mengalir.

"Indira, biarkan kami melihatnya. Buktikan padaku, bahwa kamu bukan Jihan, tapi Indiraku. Tunjukan pada Pak Fabian kalau dia sudah salah orang," bujuk Abinaya meski dia sendiri tak yakin bahwa Indira bukan Jihan.

Indira terpejam, mengumpulkan kekuatan meski sesungguhnya kakinya tak lagi mampu menopang tubuh. Ia tahu bahwa hari ini akan tiba, hari di mana dia harus mengatakan tentang identitasnya.

Indira tetap terpaku di tempat. Jangan kan untuk berkata-kata, bahkan untuk bernapas pun ia seperti kehilangan oksigen.

Tanpa memedulikan siapa pun, Fabian melangkah mendekati wanita yang ia yakini sebagai istrinya. Ia langsung berdiri di belakang Indira yang laksana patung. Detik kemudian, dia membuka zipper dress yang di pakai gadis itu, lalu sedikit menyibakkan ke kiri. Tampak sebuah tanda lahir berwarna coklat kemerahan di sana.

Tubuh Abinaya menegang, lelaki itu mundur selangkah seraya menatap kekasihnya dengan mulut yang terbuka. Bahu tegapnya seketika melunglai. Sementara itu, senyum kemenangan menghias di bibir Fabian.

Semua orang yang ada di ruangan itu ternganga, termasuk Gayatri dan Arkana yang ternyata ada juga di sana.

"Indira?" Gayatri menutup mulut, tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya.

"Jadi ini yang kamu sembunyikan dariku? Ini yang membuatmu selalu menolak untuk menikah denganku?" tanya Abinaya dengan suara bergetar. Lelaki itu menatap sang kekasih dengan mata berkabut. Hatinya hancur lebur, wanita yang begitu ia cinta ternyata berstatus istri orang.

"M--maaf ...." Hanya itu yang mampu ia ucapkan. Indira pun luruh dan tersedu.

"Bundaa!" Zara yang dari tadi sudah rewel bersama Tutik, tiba-tiba datang dan berlari menghambur memeluk Indira. Gadis itu semakin tersedu saat tangan kecil itu melingkar di lehernya.

"Halo, gadis cantik," sapa Fabian sambil mengusap kepala Zara, tapi ditepisnya tangan itu.

"Om kenapa jahatin Bunda?!" pekik Zara di sela tangisnya.

"Om gak jahatin Bunda, kok. Om cuma mau ajak pulang Bunda Indira ke rumah Om."

"Gak boleh, Bunda gak boleh dibawa!" teriak Zara dengan mata nyalang.

"Zara ... sini sama Ayah." Abinaya menarik paksa tubuh gadis kecilnya yang mencengkeram erat lengan sang bunda. Hati lelaki itu remuk redam.

"Zara mau sama Bunda. Bunda gak boleh pergi!" Siswi TK itu terus berontak dari dekapan sang ayah.

"Ayo, Jihan ... kita pulang." Dengan lembut Fabian membimbing tubuh Indira agar berdiri.

"Terima kasih, sudah menjaga istri saya dengan baik, Pak Abinaya. Kalau begitu kami pamit." Dengan memapah tubuh Indira yang tanpa tenaga, Fabian pun segera meninggalkan rumah megah itu dengan diikuti kedua anak buahnya.

Dengan kaki terseret, Indira mengikuti langkah Fabian. Sesekali ia menoleh ke arah Abinaya dan Zara yang terus berteriak memanggilnya. Hatinya benar-benar hancur melihat kekasih dan anak asuhnya begitu terluka.

"Zara ...." lirihnya saat mobil mulai melaju meninggalkan halaman rumah yang selama satu setengah tahun ini ia tinggali.

Setengah jam berlalu, mobil pun mulai memasuki jalanan sepi. Daerah yang mulai jarang penduduk. Indira tak paham wilayah ini. Ia memindai ke sisi kiri jalan, hanya ada tanah kosong yang ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa.

Jejak LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang