Sosok pria berbadan tinggi kurus muncul dari balik pintu. Di tangannya tampak sebuah nampan dengan sepiring makanan dan segelas air putih."Makan dulu, Nona," ucapnya sopan seraya meletakkan nampan itu di atas nakas.
Indira melirik pria itu dengan memeluk lutut. Wajah tirus itu tak terlihat seperti orang jahat. Usai meletakkan nampan, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.
"Tu--tunggu!"
Pria itu urung membuka pintu. Ia menoleh lalu berbalik menatap Indira.
"Ya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?
"Siapa namamu?"
"Nama saya Suryo, Nona."
"Eumm, kamu bisa bantu saya?"
"Bantu apa?"
"Bantu saya keluar dari sini."
"Wah, ma--maaf, kalau itu saya gak bisa, Nona. Saya gak berani."
"Tolonglah aku, Suryo. Dari wajahmu, aku tahu kamu bukan orang jahat." Indira mencoba membujuk lelaki bernama Suryo itu sambil meringis dan memperlihatkan luka-luka di tubuhnya. "Kau lihat 'kan, apa yang bosmu lakukan padaku."
Mata Suryo terbelalak melihat luka cambuk yang diperlihatkan Indira.
"Aku bahkan pernah mengalami yang lebih parah dari ini saat masih tinggal bersamanya." Sudut mata Indira basah.
"Maaf, saya gak berani melakukan yang Nona Jihan minta. Tapi sa---"
"Suryo!" Sebuah panggilan memotong kalimat Suryo.
"Maaf, Nona, Pak Toni sudah memanggil saya." Tanpa menunggu jawaban Indira, Suryo bergegas keluar dari kamar dan kembali menguncinya dari luar.
Indira mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan tubuh dan menatap makanan yang ada di atas nakas. Detik kemudian, gadis itu beranjak dan mengambil makanan itu.
"Aku harus makan, agar aku punya tenaga untuk bisa lari dari sini," gumamnya.
"Zara ... Bunda kangen," ucapnya lagi sambil menahan isak lalu pelan-pelan memasukkan makanan ke mulut.
"Mas Abi, maafin aku, sudah membuatmu kecewa." Indira terisak, ia tak mampu lagi menelan makanan. Dadanya terasa sesak saat mengingat dua orang yang sangat dia cintai.
Suara kunci diputar menghentikan aktifitas Indira yang sedang makan. Ia menoleh ke arah pintu sambil meletakkan piring di atas nakas. Detik kemudian muncul lelaki yang selalu membuatnya ketakutan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Fabian sambil melangkah mendekati istrinya yang menatapnya sengit.
"Tolong lepasakan aku dan ceraikan aku, Mas. Biarkan aku bebas menikmati hidupku," pinta Indira dengan memelas.
"Itu hanya ada dalam mimpimu saja, Jihan. Kamu adalah milikku, selamanya." Fabian menyeringai sinis. Bersiaplah, kita akan pulang malam ini," lanjutnya.
***
Malam pukul 08.30, dua buah mobil melaju beriringan di jalan sepi daerah Bawen. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di jalan raya utama Semarang-Banjarnegara.
Indira membisu, memutar otak agar bisa lepas dari Fabian. Ia melirik Fabian yang duduk di sebelahnya, tampak pria itu tengah fokus dengan ponsel di tangan, kemudian menatap dua lelaki yang duduk di kursi depan. Indira mulai memperkirakan kekuatan yang akan dihadapi jika ia berhasil kabur dari mereka.
Dua puluh menit terlewati, mobil pun mulai meluncur di jalan raya utama. Indira semakin gelisah menyadari bahwa sudah tak ada celah untuk kabur.
"Ada apa, Jihan?" tanya Fabian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Luka
Chick-LitIndira, gadis manis yang menyimpan masa lalu pahit. Namun, ia tak pernah menceritakannya pada siapa pun, termasuk kepada lelaki yang begitu mencintainya, Abinaya. Mimpi buruk begitu sering mengganggu tidurnya, hingga suatu hari mimpi itu pun menjadi...