Bab 12. Sepenggal Kisah Masa Lalu 3

133 16 2
                                    


Tubuh Jihan terkulai lemah, ia tak mampu lagi menggerakkan tubuh. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh ringkih itu. Bahkan tak jarang Fabian mencambuk dengan ikat pinggang kulit yang dikenakannya.

Begitulah, sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan istrinya, Fabian tak segan untuk menghukum Jihan dengan caranya.

Jihan tak mampu melawan, dirinya terlalu lemah untuk berontak. Tak pula ada celah untuknya meminta tolong. Fabian seperti bayangan, selalu ada ke mana pun dia pergi.

Kehidupan gadis itu benar-benar berada dalam genggaman Fabian. Ia bahkan tak berhak atas dirinya sendiri. Ibarat  kata, bernapas pun atas izin suaminya. Jihan merana, ia kini hanya pasrah jika harus mati di tangan Fabian.

Mata yang dulu begitu indah bersinar, kini redup kehilangan cahaya. Jihan rindu pelukan hangat sang ibu, juga dekapan lembut ayahnya.

Sore itu Jihan berdiri di depan jendela. Dari lantai dua kamarnya, ia bisa melihat hamparan kebun salak dan stroberi milik Fabian yang tak jauh dari rumah. 

Ya, rumah besar itu memang sengaja dibangun di sekitar perkebunan. Dengan halaman luas, yang ditanami berbagai macam jenis anggrek. Kalau saja rumah tangganya berjalan normal, mungkin Jihan akan betah dan nyaman tinggal di sana.

Jihan tersentak saat dua tangan kokoh melingkar di perut. Tanpa melihat pun ia tahu siapa pemiliknya. Menghela napas sambil memejam, lalu pemilik wajah cantik itu akhirnya menoleh dengan menarik bibir membentuk sebuah senyuman.

"Sudah pulang, Mas?"

"Hemm." Fabian mengecup pipi istrinya sekilas, lalu meletakkan dagu di pundak Jihan. "Lagi apa?" tanyanya.

"Menikmati pemandangan aja," jawab Jihan tanpa menoleh.

Lelaki itu mengurai pelukan, lalu memutar tubuh Jihan hingga posisi mereka kini saling berhadapan.

"Kau ingin ke sana, memetik stroberi di kebun kita?"

"Tidak." Wanita itu menggeleng lemah  dengan tetap menyunggingkan senyum terpaksa. Namun, detik kemudian ia meringis saat Fabian memegang kedua lengannya.

"Akh!"

"Kenapa? Sakit?" Fabian sedikit membungkuk untuk mensejajarkan diri dengan istrinya. "Coba kulihat."

Jihan hanya diam saat sang suami membuka bajunya dan menyingkap sedikit bagian lengan. Ada beberapa luka lebam yang membiru di sana.

"Kenapa gak diobati lagi?" ujar Fabian dengan kembali memakaikan baju istrinya.

"Nanti saja, Mas."

"Maafkan aku, sudah membuatmu terluka. Aku hanya ingin agar kamu menjadi istri yang patuh pada suami," ucap Fabian seraya membawa sang istri ke dalam pelukan. Lagi-lagi Jihan hanya mengangguk dan tersenyum.

"Yakin ... gak pengin ke kebun, metik stroberi?" Fabian mengurai pelukan dan menatap wajah istrinya.

"Nggak, Mas, aku pengin di rumah aja."

"Ya sudah. Oya, aku beli ini untukmu, nanti malem temani aku ke pesta pernikahan temen. Bersiaplah." Fabian memberikan sebuah bungkusan kepada Jihan.

"Apa ini, Mas?"

"Buka saja."

Jihan pun membuka bungkusan itu dengan hati-hati. Sepasang mata indahnya membulat saat melihat isi bungkusan itu. Sebuah gaun indah dengan model simpel tapi terlihat mewah dan elegan dengan warna biru malam.

"Untukku?"

"Hemm ...."

"Terima kasih." Jihan mengakui suaminya mempunyai selera yang bagus.

Jejak LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang