Sepasang kaki gadis itu terus berlari menembus semak-semak di antara rimbunnya pohon salak. Tak peduli meski harus terseok-seok menahan sakit karena tak memakai alas kaki, pun karena lelah setelah berlari kiloan meter. Tak jarang pula kulit putihnya tergores duri pohon salak yang dia lewati.
Napasnya memburu, air mata terus membanjir di pipi. Mengingat betapa tragis jalan hidup yang harus ia hadapi saat ini.
Setelah hampir satu jam berlari, ia pun memelankan langkah, menarik udara untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Sambil mengatur napas yang terengah, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
"Ini di mana?" gumamnya dengan terisak.
Sepasang mata itu terus menyapu sekeliling. Berharap ada seseorang yang bisa ia mintai pertolongan. Namun, hingga ia kembali berjalan, tak ada satu orang pun yang melintas di kebun itu.
Perlahan gadis yang tubuhnya dipenuhi luka lebam itu menyusuri jalan kecil di antara semak-semak di sisi kiri kanannya. Ia sengaja melintasi kebun-kebun untuk menghindari kejaran seseorang, agar usahanya melarikan diri tak menjadi sia-sia jika sampai tertangkap.
Jihan nama gadis itu. Ia melarikan diri dari suami yang seringkali menyiksanya.
Teringat saat tadi ia harus menunggu Fabian--suaminya--pergi dari rumah dan memastikan lelaki itu akan kembali dalam waktu yang lama. Tekadnya sudah bulat untuk kabur dari neraka Fabian.
"Semua kebutuhanmu sudah aku siapkan. Aku ada keperluan penting, jika butuh sesuatu panggil saja Mbok Warsih. Tapi ingat, jangan macam-macam!"
Jihan hanya mengangguk pelan. Setelahnya Fabian pun keluar meninggalkan kamar. Usai memastikan suaminya telah benar-benar pergi, ia beringsut pelan lalu bangkit dari tempat tidur. Mengambil selendang untuk menutupi wajah dan mengambil sedikit uang yang dia punya.
Dengan menahan rasa sakit di kaki ia melangkah menapaki tangga. Sampai di tengah undakan ia memindai seluruh ruangan. Sepi. Mbok Warsih pasti sedang sibuk di dapur, pikir gadis itu.
Ia kembali melangkah dengan sedikit lebih cepat, lalu menuju pintu samping hendak menuju garasi untuk mengambil motor. Namun, setelah berpikir lagi, akhirnya ia memutuskan untuk pergi tanpa menggunakan kendaraan.
Jihan tak tahu ke mana tujuannya. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana ia bisa bebas dari neraka yang dibuat oleh suaminya.
Dan di sinilah Jihan sekarang, setelah menempuh perjalanan hingga tiga jam lebih dengan berjalan kaki, kini ia berada di sebuah hutan. Gadis itu tidak tahu arah, dirinya hanya terus mengikuti ayunan kaki meski dengan langkah yang tertatih.
Tak peduli luka pada kadam yang semakin parah serta penat yang mendera tubuh, Jihan terus menyusuri hutan, hingga kemudian ia bertemu jalanan yang sepi. Jalan alternatif Banjarnegara-Kebumen memang jarang dilewati kendaraan.
Tubuh Jihan mulai limbung, pandangan mata pun mengabur. Ia tak kuat lagi menahan kesakitannya. Saat kesadaranya nyaris hilang dan membuat dirinya ambruk, tiba-tiba saja ia melihat sebuah mobil jenis sedan tengah meluncur pelan hendak melintas.
Dengan tenaga yang masih tersisa ia pun berusaha menyeret kakinya untuk menghentikan mobil itu dan meminta pertolongan.
Decit suara ban yang beradu dengan aspal menandakan pengemudi mobil tersebut menginjak rem secara mendadak. Antara sadar dan tidak, Jihan melihat dua orang lelaki turun dari mobil dan menatapnya.
"To--long ...," lirihnya. Detik berikutnya tubuh lemah itu pun ambruk ke aspal.
***
Sementara itu di kediaman Fabian, tampak lelaki itu baru saja sampai di rumah. Ia melirik ke arah penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan, pukul 13.15.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Luka
ChickLitIndira, gadis manis yang menyimpan masa lalu pahit. Namun, ia tak pernah menceritakannya pada siapa pun, termasuk kepada lelaki yang begitu mencintainya, Abinaya. Mimpi buruk begitu sering mengganggu tidurnya, hingga suatu hari mimpi itu pun menjadi...