To The Point

210 46 0
                                    

    

     

   Sekilas, nyaris tidak ketahuan, saat Susan selesai mengobatiku dan membelakangi kami untuk mengurus Lizbeth, Travis berpindah ke kursi sampingku dan menyikut.

"Tapi tangan kirimu baik - baik saja?" bisiknya.

"Iya, mungkin?"

"Mungkin? Coba lihat."

DI atas tangannya, tanganku tampak mengecil, apalagi saat ia menyatukan jemari kami dan mengelus lembut ibu jarikuㅡEh! Rasanya seperti tersengat saat aku sadar. Tangan kami saling mengenggam. Ia puas sekali cekikikan tanpa suara. Untung Lizbeth sibuk mengabari orang tuanya dan Susan fokus mengobati lukanya, aku jadi lebih leluasa menendang kakinya.

"Diam lah," bisikku, nyolot.

Travis memajukan wajahnya dan berbisik,"Tidak boleh mengancam orang yang tidak kau kenal, Nona Jang." Ia memasang wajah geli sekaligus merendahkan yang membuatku nyaris menggila.

Aku memutar mata dan mendesis.

"Bagaimana nilai Biologi-mu? Lebih menyenangkan bukan daripada berpacaran denganku?"

Kan.

Dia menekankan kata 'menyenangkan' seolah aku selingkuh dengan Biologi atau apa. Orang ini ingin kugarami lukanya, ya?

Travis memang selalu begitu, tidak pernah rela melepaskan satu kesempatan untuk menggodaku sedari dulu. Namun kali ini mungkin beda. Situasinya tidak selucu dulu. Ada rasa tidak terima yang membikin kebiasaan meledekku jadi terasa canggung dan tak nyaman. Apalagi tidak ada kerlingan jahil. Yang sekarang kutatap adalah sepasang mata bersorot menantang yang kentara sekali rasa kesalnya.

Aku melengos dengan tangan terlipat, berharap ia sadar aku betulan tak ingin bicara padanya kendati kini rasanya aku seperti dijebak dalam penjara hingga kami terpaksa bicara.

"Sudah kuduga, Biologi akan menyakitimu." Ia terkekeh.

Aku, sih, mana mau kalah. "Kudengar sekolah sebelah punya pelatih football yang keren, kenapa malah memilih Bedfordㅡsekolah ini?"

Alis Travis terangkat sebelah.

Senyumku terulas picik. "Aku jadi ingat ada yang bilang akan mengikutiku kemana pun aku pergi meskipun sudah putus."

"Sepertinya kau terlalu percaya diri?"

"Aku? Um, sorry, bukan kah kita tidak kenal, Tuan ... maaf, siapa namamu?" kataku, menantang.

"Kalau kita tidak kenal, kenapa selama ini malah melengos setiap kusapa? Kenapa? Belum move on?" Perlahan - lahan seringai menyebalkannya terbit seiring aku kehilangan kata - kata. Dan lagi, meski sering kumantrai diri untuk kuat, aku selalu saja butuh waktu untuk bernapas tiap menatap matanya dekat.

How To Fight Aries BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang