Worse Than Biology

356 54 0
                                    

  
  
   
Sebagai maniak sains, mempelajari reaksi enzim lewat tabung reaksi ini bisa kulakukan tanpa berpikir. Sebaliknya, kepalaku penuh oleh tanda tanya mengapa tadi pagi Travis menepuk kepalaku sambil cengengesan.

Ah, kalau dianggap masih cinta, mana mungkin. Aku lebih percaya ada hubungan antara kesal karena diputuskan dengan keinginan supaya Nona Mantan kena karma dan memohon untuk balikan. Setidaknya itu yang kupikirkan sebab Travis, meski bahunya lebar, bukan orang yang lapang dada. Kepala dia kalau diadu dengan batu, batunya yang pecah. Serius (Peluang keberhasilan: 50%).

Di sebelahku, gerutuan Lizbeth menarikku pulang ke kenyataan. "Aku benci biologi."

"Biologi seribu kali lebih baik daripada cowok Aries," kataku.

Lizbeth menatapku hina, dan aku menatapnya balik hanya agar ia tahu aku sedang menantang: 'Patahkan argumenku kalau bisa' pada cewek Scorpio yang terkenal suka berdebat itu. Lizbeth pasti membantah sehingga aku bisa menguatkan opiniku kalau cowok Aries memang membikin Biologi sejuta kali lebih menyenangkanㅡ

"Yah, kaubenar juga." Ia kembali menekuni tabung reaksinya. "Mantanku Aries dan brengseknya bukan main."

ㅡatau tidak juga.

Loh!?

"Harusnya kamu bilang Aries itu lebih baik daripada Biologi!" kataku gemas. Aku membaca suasana sekitar lalu mendekati Lizbeth. Nyaris mencengkramnya malah. "Bilang padaku cowok Aries itu tsundere dan susah move-on. Aku bisa mengatakan seribu alasan cowok Aries itu menyebalkan!"

"Aku enggak percaya zodiak, Sayang."

Aku memutar mataku dan menjatuhkan diri kembali ke kursi. Opiniku tidak tervalidasi. Menyebalkan. Masalahnya aksi yang dilakukan Travis sejak ia pindah membikinku hilang akal belakangan ini. Bagaimana bentuk lekuk senyum, gestur anak nakal yang masih sama, lalu rambut urakan yang (dulu) sering kusisiri. Ia seperti ingin mengejekku oleh apa yang kulakukan dua tahun silam — saat aku memutuskannya. Dan tahu ini pasti berefek pada hatiku yang lemah, aku gatal ingin menjitaknya.

Lizbeth menyikutku. "Lagian siapa, sih, cowok Aries itu?" tanyanya serius.

Aku mengendikkan bahu. "Lupakan," jawabku lesu.

"Katanya kamu enggak punya pacar." Lizbeth menarik kursinya mendekat.

"Lebih buruk." Aku melirik sekitar sekilas lalu fokus pada Lizbeth. "Bayangkan. Ada satu cowok Aries. Ketemu mantan. Daripada menghindar karena marah diputusin sepihak, dia malah balas dendam. You know, tipikal Aries gitu. All decisions are his. Dan kalau tujuan dia balas dendam, pasti harus wajib tercapai."

Lizbeth menumpukan kepala ke tangan, menatapku serius.

"Geser cairan HCl-mu dulu," kataku. Dia tak bergeming, tetap di posisinya. Aku memutar mata sebelum melanjutkan. "Misalnya, ya, ia sering bersandar di loker mantannya cuma untuk menyapa lalu pergi, sering juga ia melengos padahal sudah berhadapan. Pernah dia mengejar si Mantan cuma untuk pamer parfumnya. Ew, mana disuruh cium bajunya lagi. Cari perhatian banget kan? Tapi, Liz, kalau berpapasan dia malah langsung merangkul teman ceweknya, pakai bisik - bisik centil lagi. Menyebalkan."

Lizbeth mengangguk paham. "Sudah pasti ini tarik ulur. Dia ingin menunjukkan dia sudah move on atau ... dia ingin kamu jatuh cinta lagi terus balas meninggalkanmu."

"Iya kanㅡTunggu! Ini bukan aku!"

Lalu, krack!

Lizbeth yang mencoba menahan tepakanku malah menyenggol botol HCl dan tangannya tak selamat dari tumpahan air keras tersebut. Ia menjerit lalu kepanikan menyambar sana - sini. Tahu - tahu aku sudah melompat dari kursi dan tergelincir dan memecahkan gelas ukur sekaligus menyobek sisi luar telapak tanganku. Semuanya dalam sekejap mata. Saat aku merasakan pedih luar biasa, aku baru berani menarik napas dan menyadari kekacauan ini.

"Oh, tidak. Darah!" pekik seseorang. 

O-ow. Benar, darah. Warna merah dari hemoglobin yang akan menghitam ketika tak mengangkut oksigen (ada di buku cetak Biologi halaman 187), sedang mengalir tenang dari bagian luar telapak tangan, terus menetes dari ...  tanganku.

Sial.

How To Fight Aries BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang