Pergi

64 15 10
                                    

Bonus Hari Kemerdekaan.
Dirgahayu, Indonesiaku!

***

"Ngit, Tata masih belum bisa dihubungi,"

Langit mendapati tatapan cemas itu di mata istrinya. Sudah hampir seminggu, dan Mentari seolah menghilang begitu saja. Pagi itu, pagi saat bertemu Nusa, itu adalah terakhir kalinya Luna dan Langit melihat Mentari. Ketika mereka berdua mendatangi rumah Papi-Mami Mentari siang itu, Mami bilang Mentari sudah pergi sejak pagi. Gadis itu tidak berkata ke mana ia akan pergi, hanya bilang ia butuh waktu sendiri dan tidak perlu dicari. Luna dan Langit sudah mendatangi apartemen Mentari, tapi penjaga apartemen justru bilang Mentari belum kembali ke apartemen sejak hari Sabtu siang.

Luna tahu, Mentari bukan lagi gadis remaja berusia 17 tahun yang jika punya masalah hanya akan berkeluh kesah pada sahabat-sahabatnya. Mentari yang sekarang sudah dewasa, memilih menyendiri dibandingkan bercerita pada Luna dan Langit. Tapi Luna tidak bisa berhenti cemas pada sahabatnya, ia tidak bisa tidak memikirkan hal apa saja yang akan dilakukan Mentari jika gadis itu sendirian.

"Udah coba hubungin Bang Nusa?" tanya Langit. Sedetik kemudian, ia menyadari itu pertanyaan bodoh ketika sang istri menatapnya galak. Ia langsung menahan diri untuk tidak mengeluarkan nama Samudra atau Kara sebagai opsi berikutnya.

"Nanti dia bakal muncul lagi kalau ada kerjaan, Na," Langit berusaha menenangkan istrinya.

"Asistennya bilang Mentari cancel semua pekerjaannya sampai dua minggu ke depan."

Giliran Langit yang melotot. Dua minggu? Mentari sudah gila? Berapa banyak nilai kontrak yang hilang dan pinalti yang harus dibayarnya karena pembatalan itu?

"Kita beneran nggak bisa tanya Bang Nusa soal masalah mereka, ya?" coba Langit sekali lagi. Lagi-lagi, Luna menggeleng. Jika Mentari memutuskan tidak bercerita, maka itu berarti gadis itu tidak ingin melibatkan mereka berdua di permasalahannya dan Nusa kali ini.

Melihat wajah Luna yang semakin muram, Langit merangkul bahu istrinya. "Udah ya, Sayang. Nanti lagi kita cari Tata bareng-bareng. Jangan dipikirin terus. Aku nggak mau kamu kepikiran, kasian si bayi."

"Sedih, Tata nggak mau cerita," suara Luna terdengar gemetar menahan isak.

"Kalau dia udah agak tenang dan udah sanggup, dia pasti cerita, Sayang." Langit mengusap-usap rambut istrinya. "Udah, ya. Aku nggak tenang ninggalin kamu ke luar kota kalau kamu sedih terus kayak gini."

Luna mengusap air mata yang menggenang di pelupuknya. Wajahnya yang semula sedih kini cemberut, "Kenapa sih, kamu harus keluar kota?" gadis itu mulai merajuk.

"Site visit. Cuma tiga hari, kok. Aku usahain malam ketiga aku udah di rumah lagi,"

"Janji?" Luna mendongkak menatap Langit.

"Janji," Langit tersenyum, lalu mencubit pipi istrinya gemas. "Istriku gemesin banget sih kalau lagi nggak mau jauh-jauhan sama suaminya?"

"Langit!" Luna berteriak, membalas dengan menggelitik pinggang pemuda itu. Membuat mereka berdua berakhir dengan saling menjahili dan tertawa bersama.

***

Langit tersenyum menatap laporan di tangannya. Progres proyek pembangunan resort salah satu resort di tepi pantai pesisir Jawa Barat yang sedang dipegangnya ini terlihat menjanjikan. 80% targetnya sudah terpenuhi dalam waktu singkat, melebihi ekspektasi awalnya saat mulai mengerjakan proyek ini. Kepalanya membayangkan berapa besaran bonus yang akan didapatnya saat proyek ini selesai. Bonus yang akan ia simpan untuk biaya melahirkan Luna dan biaya pendidikan anaknya nanti.

Langit, Bulan, Matahari #2: BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang