Janji Langit

66 16 2
                                    

Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian Bunda dan Mama yang sedang mengobrol dan membicarakan rencana empat bulanan Luna. Beberapa detik kemudian kedua ibu itu menatap bingung pada Luna yang masuk ke ruang tengah dengan tas besar di tangannya. Mama buru-buru menghampiri putri bungsunya yang terlihat berwajah sembab.

"Loh, Sayang? Kenapa sendirian? Langit mana? Ini kenapa bawa tas besar begini?" tanya Bunda ketika beliau ikut menghampiri Luna.

Luna tidak menjawab pertanyaan Bunda, melainkan pergi ke kamarnya sambil terisak-isak.

"Ya ampun, ada apa itu anak?" Mama bertanya bingung.

"Pasti Langit." sahut Bunda. "Aduh, itu anak kadang minta dijewer. Bikin masalah apalagi dia?"

"Tunggu sebentar ya, Mbak," pinta Mama pada Bunda, lalu beliau menyusul Luna ke kamar gadis itu. Mama berusaha mengetuk pintu dan membukanya, tapi Luna menguncinya dari dalam.

"Sayang, Mama mau masuk. Boleh?" tanya Mama. Ketika tidak ada jawaban, Mama kembali bertanya. "Mama nggak akan tanya, Mama cuma mau temenin Nana, boleh ya?"

Lagi-lagi, Luna tidak menjawab. Hanya isakan hebatnya yang terdengar oleh Mama dari balik pintu kamar. Membuat Mama semakin khawatir.

Ada apa dengan putrinya?

***

Luna ... astaga? Istrinya ... kemana?

Langit menatap cemas pada lemari bajunya yang separuh isinya kosong. Tidak ada lagi baju-baju Luna di sana, menandakan gadis itu berkemas dan membawa seluruh bajunya entah ke mana. Di tambah lagi, Luna tidak mengatakan apa-apa pada Langit—-ia bahkan baru ingat bahwa sejak pesannya yang mengabari kalau ia akan pergi ke site sebelum pulang ke rumah sore tadi, Luna belum membalas pesannya lagi. Jangankan memberi tanda terbaca, bahkan sepertinya pesan itu bahkan belum terkirim.

Pemuda itu menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Berpikir cepat, ia segera berlari ke meja kerja tempat ia meletakkan tasnya. Ia merogoh-rogoh setiap sakunya, mengumpat ketika benda yang dicarinya tidak segera ditemukan. Ketika lima menit kemudian ia menggenggam ponselnya, ia menekan-nekan layar sentuh ponselnya dengan cepat, menekan speed dial untuk satu nomor.

Rumah Luna.

"Mama, Nana ada disana?"

***

Langit tidak sempat ke rumah Nana. Bunda seperti sudah mempunyai insting kalau putra bungsunya akan datang ke rumah, menyuruhnya ke rumah Ayah sebelum datang ke rumah orang tua Luna. Menurut, Langit datang ke rumah dengan wajah yang tidak kalah kusutnya dengan kemejanya. Ia tidak sempat mandi atau merapihkan diri. Begitu mendapat kepastian tentang keberadaan Luna, yang ia pikirkan hanya bagaimana ia memastikan kalau istrinya baik-baik saja.

"Kamu habis berantem sama Nana?" tanya Bunda tanpa basa-basi bahkan hanya satu detik setelah Langit duduk di sofa ruang tengah.

"Ng-nggak," sahut Langit. Ia malah bingung kenapa tiba-tiba ia disidang oleh Bunda. Bahkan ayah duduk disana, menatapnya dengan tatapan tak terbaca.

"Bohong," tuduh Bunda.

Ya ampun, memangnya ia melakukan kesalahan apa? Seingatnya sampai malam kemarin ia dan Luna baik-baik saja, gadis itu meneleponnya malam-malam sampai-sampai Langit yang harus mengingatkannya agar segera beristirahat.

"Langit nggak bohong, Bunda. Langit juga bingung kenapa Nana tiba-tiba pergi dari rumah,"

"Kamu habis ngomong apa ke dia?"

"Nggak ngomong apa-apa, Bunda." jawab Langit, menahan sabar. Ia benar-benar tidak tahu apa kesalahannya kali ini.

"Masalah PRT kemarin?" cecar Bunda.

Langit, Bulan, Matahari #2: BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang