Tergoda Bidadari

71 16 3
                                    

Kamu, selalu, tak hentinya
menggoda diriku
Senyummu, matamu,
seolah mengajak pergi jauh

***

Langit mengetuk-ngetukkan pensil gambarnya ke meja, memikirkan sesuatu dengan serius. Ia bahkan tidak sadar saat seseorang meletakkan segelas kopi dengan logo hijau di gelasnya diletakkan di mejanya. Langit mendongkak, dan menemukan Renata berdiri di samping mejanya dengan senyum terkembang.

"Kopi, Lang."

Pemuda itu tersenyum kecil, namun menggeleng. "Thanks, Ren. Gue udah ngopi tadi,"

"Gue taruh kulkas buat nanti siang kalau gitu, ya."

Langit lagi-lagi menggeleng. Ini bukan pertama kalinya Renata menawarinya kopi, dan bukan pertama kalinya juga ia menolak. "Istri gue cuma bolehin ngopi satu kali sehari. Lo kasih ke yang lain aja."

"Gue 'kan beliin buat lo, Lang. Masa gue kasih ke yang lain," Renata tertawa kecil.

"Buat yang lain aja," tegas Langit.

Renata hanya mengangkat bahu. Ia melirik laptop Langit yang sudah tertutup, lalu melebarkan matanya seolah teringatkan sesuatu. "Eh, lo meeting ke Sudirman, 'kan? Gue nebeng, ya. Gue nggak bawa mobil hari ini,"

Langit mengangkat satu alisnya, heran, tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya. "Gue berangkat lima menit lagi."

"Oke, wait. Gue ke kamar kecil dulu." Renata berlalu ke arah kamar kecil yang berada di luar ruangan.

"Lo yakin, Renata udah nggak ada perasaan apa-apa sama lo?" tanya Rendra saat Langit bercerita tentang Renata beberapa hari lalu, saat Langit berkunjung ke kafe.

Langit mengangguk tegas, ia sudah melakukannya saat di bangku kuliah dulu. "Gue udah tegesin sejak dia nembak gue, kalau gue nggak bisa terima dia."

"Mungkin, dia masih merasa ada harapan, Ngit."

"Harapan gimana?" Langit mengerutkan kening. "Orang-orang juga udah tahu kalau gue nikahnya sama Nana, cintanya sama Nana. Dengan itu aja, seharusnya udah cukup buat dia berhenti berharap."

"Yaa ... karena lo masih baik sama dia, mungkin?"

"Ya masa tiba-tiba gue jadi gak baik?"

"Maksud gue, dia bisa anggap kebaikan lo itu menunjukkan perhatian yang berlebihan. Bisa jadi dia malah makin ngarep."

Masa, sih? Masa ada yang berani menganggu pengantin baru? Apalagi yang seperti dirinya—maksudnya, yang sudah jelas-jelas suka pada Luna sejak lama?

"Nggak ada yang nggak mungkin, Ngit. Mending, lo luruskan lagi sama Renata soal itu."

Bunyi ketukan sepatu Renata mengalihkan perhatian Langit. Gadis itu sudah siap dengan tas tangannya. "Yuk, Lang."

Baiklah, saatnya bekerja, dan meninggalkan urusan pribadi di belakang. Atau, akan lebih baik jika dalam sekali jalan, ia bisa menepuk dua lalat—mengantarkan Renata sekaligus meluruskan apapun yang tidak seharusnya diantara mereka.

***

Oo ioo ioo, lelaki itu harus setia
Meski kau secantik bidadari
Kekasihku seindah sang dewi

***

Mentari menggenggam tangan Nusa erat. Siang ini, Nusa mengajaknya untuk menemui Lukita di sebuah restoran. Entah apa yang ada di pikiran Nusa, Mentari mengiyakan saja permintaan pemuda itu. Selain karena ia penasaran akan rupa Lukita, ia juga ingin menyelesaikan segala kesalahpahamannya dengan gadis itu. Closure.

Langit, Bulan, Matahari #2: BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang