Untuk Sahabat

61 17 3
                                    

Pagi itu, rumah keluarga Taura sudah heboh dengan Luna yang muntah-muntah. Calon ibu muda itu tertunduk di depan westafel kamar mandi, dengan Mama yang bergegas menghampirinya begitu mendengar suara muntahan untuk yang kesekian kalinya.

"Aduh, ini kenapa?" tanya Mama sambil memegangi rambut Luna agar tidak terkena muntahan putrinya.

"Nggak tahu," Luna menggeleng pelan. Sedetik kemudian isi perutnya keluar lagi. "Masuk angin kayaknya,"

Mama mengerutkan kening. Beliau pikir ini jenis muntah-muntah yang normal untuk ibu hamil, tapi mendengar putrinya berkata seperti itu mau tak mau beliau bertanya, "Emangnya kamu semalem pasang AC-nya dingin banget?"

Luna menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan isi perutnya, "Nggak dingin-dingin banget, tapi Nana nggak pake selimut."

Mama tidak lagi bertanya. Ia dapat menebak alasan putrinya tidak memakai selimut saat tidur. Karena selimut yang dimaksud tadi pagi terlipat di sofa, di tempat Langit tertidur semalam. Mama hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, memberi isyarat pada menantunya ketika Langit menghampiri mereka.

Luna merasakan sentuhan seseorang di tengkuknya. Ia menoleh, mendapati Langit di sampingnya dengan satu tangan memijat tengkuknya dan tangan lainnya mengelus-elus perutnya.

"Anak Ayah, jangan bikin Ibun susah ya. Yang baik disana," ujar laki-laki itu pada perut Luna. Ajaibnya, setelah itu, Luna merasa perutnya agak baikan dan mualnya hilang.

"Nah, emang obat mujarab ibu hamil itu ya disayang-sayang sama suaminya," ujar Mama, setengah meledek setengah geli. Bagaimana tidak geli kalau kemarin Luna mendiamkan Langit sementara pagi ini justru mualnya Luna sembuh gara-gara menantunya mengelus-elus perut putrinya dengan sayang. Mama lalu meninggalkan pasangan muda itu, kembali dengan kesibukannya di dapur.

"Aku udah nggak apa-apa," Luna berkata canggung saat beberapa menit kemudian Langit masih memijati tengkuknya.

"Beneran?" Langit memastikan.

Luna mengangguk. Langit lalu melepaskan pijatannya dan mengusap lembut kepala Luna. "Makasih ya, semalem kamu udah selimutin aku,"

Luna mengangguk, kali ini sambil menundukkan kepalanya karena gengsi, malu karena ketahuan perhatian pada suami sendiri padahal dirinya sedang mendiamkan laki-laki itu.

"Mau sarapan apa?" tanya Luna—-tidak ingin mengabaikan kewajibannya untuk melayani suami walau ia sedang merajuk.

Langit menggeleng pelan, "Kamu mau jelaskan kenapa kamu tiba-tiba pergi ke rumah Mama?"

"Tapi nanti kamu telat,"

"Nggak apa. Aku udah ijin datang telat."

Luna menurut ketika Langit menggandeng tangannya ke sofa ruang tengah, mendudukkannya di sana. Pemuda itu duduk di samping istrinya.

"Jadi, ada apa, Sayang?" tanya Langit. "Gara-gara postingan di salah satu akun gosip itu, yang liat aku rangkul Tata?"

Luna mengangguk dan menggeleng, membuat Langit bingung.

"Maksudnya itu apa?"

"Iya, aku tahu dari akun gosip, tapi sebelum itu, ada orang yang kirim foto kamu sama Tata."

Langit mengerutkan kening bingung.

"Aku memang tahu dari akun gosip paginya, tapi malam sebelumnya ada yang kirim foto yang sama ke aku—cuma aku baru buka pesannya pagi hari." jelas Luna.

"Siapa?" Langit semakin kebingungan.

"Nggak kenal akunnya. Keburu males nanggepin," Luna menjawab sambil cemberut, teringatkan lagi foto yang membuatnya kabur ke rumah Mama itu.

Langit, Bulan, Matahari #2: BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang