Bagian 2

762 78 10
                                    

Matahari di Pagliuzza menyapa hangat, menebar sinar-sinar lembutnya di segala permukaan, melewati selambu dan mendarat lembut di wajah Vincenzo. Lelaki itu bergerak perlahan di atas kasur yang seharusnya bukan miliknya, mengerang lemah dari gangguan sinar dan kemudian berbalik untuk menghindarinya namun tidak butuh lama sebelum dia perlahan terbangun dari tidurnya dan menyeret tubuh menuju arah cahaya. Dia berdiri di antara selambu, membuntu arah masuk cahaya yang berusaha mengisi ruangan yang tampak muram itu. Pemandangan pantai di kejauhan terlihat dari balik jendela, suara deburan ombaknya samar-samar terdengar walau jendelanya tertutup rapat.

Dia meringis. Sungguh terlalu, semua gambaran yang dia lihat pagi ini terasa seperti peluru yang menghunjam kulitnya... terlalu menyakitkan. Ini jauh dari apa yang telah dia bayangkan.

Seharusnya Hong Chayoung yang berdiri di posisinya. Yang seharusnya tertidur di atas kasur yang baru dia tiduri, yang seharusnya pagi ini telah membuka selambu dan jendela lalu menikmati pemandangan pantai pagi hari yang indah. Chayoung seharusnya sudah menikmati hari-hari liburnya yang mana Vincenzo akan isi dengan mengajaknya berkeliling pulau, memamerkan seluruh seluk beluk Pagliuzza, dan memberikannya makanan otentik Italia yang jauh rasanya daripada Arno.

Sekarang dia tidak akan pernah akan melakukannya, kan?

Dan penyesalan selalu datang terlambat, mengisi hati dan pikiranya dengan segala kata kalau. Kalau saja Vincenzo melupakan sejenak tekanan emosinya sendiri dan jujur mengenai perasaannya pada wanita itu sebelum dirinya hilang dari hidup Chayoung... dari ingatannya.

"Harus lakukan sesuatu," ujarnya tiba-tiba, meraih telepon selularnya dan keluar meninggalkan ruang tersebut.

***

"Bagaimana kabarnya?" tanya Vincenzo dari balik sambungan telepon. Ini masih pagi di Pagliuzza dan itu berarti sudah sore hari di Seoul

"Dia sudah bisa berjalan tapi kata dokter tidak boleh terlalu memaksakan gerakan tubuh, jadi dia masih harus memakai kursi roda," jawab Miri, "Pak Nam dan orang-orang dari Geumga berusaha membesuknya sesering mungkin karena dia sudah terlihat menerima kehadiran orang lain."

Vincenzo mengangguk dalam diam sembari membayangkan adegan yang mungkin terjadi di mana Chayoung duduk di atas kursi roda di balik kaca jendela ruangannya, berbalik ketika disapa dan tersenyum sopan kepada orang-orang yang datang.

Karena itulah yang Vincenzo lihat ketika dia menyempatkan diri untuk mengunjunginya bulan lalu, kecuali Chayoung masih berada di kasurnya, menatap pemandangan dari balik kaca jendela di sore yang terik itu. Vincenzo berhenti di ujung pintu, memutuskan untuk tidak masuk dan menyapanya, selain karena waktunya terbatas dan dia membutuhkan seluruh waktu di dunia untuk menempatkan dirinya di kehidupan wanita itu lagi. Bukan hanya untuk obrolan singkat semata.

"Ada kabar terbaru dari Pak Ahn? Ini sudah sebulan setelah obrolan terakhir kami," tanya Vincenzo.

"Sayangnya tidak banyak yang berubah," Miri menghela napas, "Maksudku, dengan Hong byeon seperti ini tidak mungkin ada kemajuan dari ajuan banding kasusmu," tambahnya. "Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada Pak Ahn mengenai detailnya."

"Baik, akan kulakukan."

"Semangat ya, byeonhosanim!" ujar Miri, "Aku tahu hal ini sangat berat bagimu. Kami berusaha mungkin untuk membawamu kembali ke samping Nona Chayoung."

Vincenzo tiba-tiba merasa gugup mendengarnya. Agak memalukan kalau dia memaksa mereka bekerja begitu keras hanya untuk permintaan egoisnya.

"Wonjangnim," ujar Vincenzo lembut, "terima kasih atas kerja kerasmu. Aku sebenarnya tidak ingin kalian terpaksa melakukannya untukku, aku bisa tunggu kok." Atau sebaiknya dia sudahi saja dan menghilang seutuhnya dari kehidupan mereka, bukankah terdengar lebih gampang?

"Tidak, byeonhosanim. Kami yang tidak bisa menunggu," ujar Miri mengkoreksi. "Kami tidak sanggup untuk kehilangan sosok pemimpin lagi. Setelah Pak Hong, dirimu, dan sekarang Nona Hong, walau bersyukur sekali Nona Hong masih diberi kesempatan hidup, saat ini kami praktis tidak punya orang yang bisa melindungi dari segala ancaman orang-orang yang ingin menguntit gedung ini. Kami butuh Nona Hong dan Nona Hong butuh dirimu, ujung-ujungnya kami butuh kalian berdua."

"Aku paham, tapi aku jadi terlihat sangat egois, bukan begitu? Berusaha membawaku kembali ke sana akan malah membawa masalah daripada kebaikan. Lagipula apa yang bisa aku lakukan untuknya?"

"Byeonhosanim," potong Miri, "Kamu bodoh ya?"

"Apa?"

"Apa yang bisa kamu lakukan untuknya? Banyak! Kalian menghabiskan waktu dua puluh empat jam setiap hari, pagi dan malam, menempel satu sama lain. Di antara kita atau dibanding Pak Nam... kamulah yang meninggalkan banyak memori yang paling intim."

Intim, ya? Apakah itu yang orang-orang lihat dari dirinya dan Chayoung?

"Jadi kamu lebih sanggup untuk membuat Nona Hong kembali mengingat dan walau kamu tidak bisa mewakili kami secara legal paling tidak kamu bisa melindungi kami kan, dan tentu saja melindungi dia. Jika ingin berbicara tentang egois bukannya kami terdengar lebih egois?" seloroh Miri.

"Baiklah, kamu benar," Vincenzo meringis.

"Nah gitu! Kalau begitu kami tidak sabar lagi untuk bisa melihatmu kembali, byeonhosanim." Dan kemudian keduanya menyudahi sambungan teleponnya.

Vincenzo terduduk gontai di tempat duduknya, tangan kirinya bersandar di lengan kursi bermain dengan korek apinya, membuka dan menutup dengan jarak yang teratur. Suara nyaring dari metal yang mengisi seluruh ruangan itu memberikan intensitas pada pikirannya.

Kata-kata dari Seo Miri memberi beban berat padanya dan juga terasa sangat ironis. Bagaimana dia harus menjadi pelindung dari dua dunia yang berbeda, yang di satu sisi hidup dari segala tindak kejahatan dan yang lain hidup jauh menghindari dari kejahatan. Dan bagaimana Vincenzo memulai hidup di kedua dunia ini sebagai orang yang tadinya tidak tepat namun kemudian menjadi tumpuan harapan satu-satunya.

Rasanya saat ini dia tengah berdiri di sebuah sidang kehidupan, didesak untuk menjawab sisi mana yang dia harus pilih. Jujur saja, Vincenzo tidak akan pikir banyak untuk memilih dunia yang kedua untuk ditinggali, dunia yang punya Hong Chayoung di dalamnya walau wanita itu tidak dapat mengingat apapun. Tapi atas resiko apa? Dirinya adalah buronan dan organisasi penegak hukum baik di Korea ataupun Italia sangat menggebu untuk menangkapnya. Walau dia dapat berkilah dari tuduhan tindakan kriminal yang dia lakukan sebelumnya, hal terburuk dia harus menjalani deportasi, yang berarti Interpol akan dengan mudah menangkapnya. Dengan situasi tersebut dia akan terpaksa untuk mengkhianati keluarga mafia yang sudah dengan susah payah dia lindungi atau memilih untuk dipenjara dan dia sama sekali tidak ingin memilih kedua opsi tersebut.

Vincenzo menggenggam erat korek apinya seraya memutuskan bahwa harus ada keputusan berat yang harus dia lakukan.

Memori di Atas Kertas Putih [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang