Hai, namanya Juni, laki-laki biasa yang suka bermain gitar. Tidak suka dengan hal-hal ribet yang membuat hidupnya menjadi berantakan. Dia manusia yang menjalani hidupnya dengan monoton namun ingin menatanya dengan sempurna.
Hari-harinya dipenuhi dengan bermain gitar di ruang musik sekolah yang jarang digunakan.
Juni Pramuja.
Itu ukiran yang terdapat di badan gitar kesayangannya, pemberian dari mediang Ibunda tercintanya.
Juni menghela nafasnya kala jarinya memetik senar terakhir dari gitarnya. Ia baru saja menyelesaikan lagu sederhana yang ia buat sejak dua bulan terakhir.
Tentang bulan Juni dan kota Jakarta.
Iya, tentang bulan dan kota kelahirannya. Juni memutar kursinya menjadi ke arah jendela ruangan itu, memandang taman yang sepi dengan cuaca yang cukup cerah.
Ia meletakkan gitarnya di sisi dinding dan keluar sebentar menuju kelasnya untuk mengambil tas.
Mungkin sudah tidak ada orang lagi di sekolah karena bel pulang sudah berbunyi 30 menit yang lalu.
Juni mengambil tas nya lalu kembali ke ruang musik. Tapi saat ia kembali ke ruangan yang tadinya sepi tak berpenghuni itu menjadi berisik karena seseorang bernyanyi di dalamnya.
Laki-laki itu mengerutkan dahinya saat mendengar kebisingan itu dari kejauhan. Perlahan ia mendekat dan membuka pintu ruangan tersebut.
Dan, ya.
Seorang gadis menggunakan seragam yang sama dengannya dan juga headset berwarna pink berdiri sambil bernyanyi dengan lantang menggunakan microphone, jangan lupakan juga suaranya yang cukup mengganggu pendengarannya itu.
Juni masih diam sambil memperhatikan gadis itu di ambang pintu.
Gadis yang bernyanyi sambil berteriak-teriak tersebut berhenti kala menatap pintu yang sudah terdapat Juni disana.
Ia melepas headset-nya dan mematikan microphone juga dengan lagunya.
Juni masih setia menatap gadis itu dengan diam, sambil menaikkan satu alisnya seolah bertanya.
"Hehe Juni, gue kira lo udah pulang."
Juni tak menanggapinya, ia masuk untuk mengambil gitarnya lalu kembali pergi keluar.
Gadis itu menggigit kukunya, ia sangat malu, sangat.
"Duh, malu banget gilaa!"
Lalu ia ikut mengambil tas-nya dan menyusul Juni sebelum laki-laki itu semakin jauh.
"Jun Jun, eh sorry ya gue tadi itu cuman bosen aja kok, aslinya suara gue bagus banget. Lo gak percaya? Nih ya gue tun--"
"Berisik!"
Gadis itu langsung diam. Juni melepas tangan gadis itu yang bertengger di lengannya lalu menatapnya.
"Lo gak buta kan buat baca tulisan di depan pintu ruang musik tadi?" tanya Juni.
Gadis itu seolah mengingat tulisan yang dimaksud Juni. Lalu setelahnya ia tersadar, tersadar kalau ia salah jadi gadis itu hanya bisa menunduk.
"Dilarang masuk kecuali yang berkepentingan atau anggota klub musik!"
Mendengar kalimat yang Juni perjelas, membuat gadis itu semakin menunduk.
"Lain kali jangan sembarangan."
Lalu Juni pergi dari hadapan gadis itu. Belum terhitung lima langkah, Juni kembali dihentikan olehnya.
"Jun," panggilnya. Juni berbalik.
"Gue mau ikut klub musik."
"Dengan suara lo yang kaya tadi?"
"Enggak, gue serius."
"Gue juga serius."
Gadis itu menghela nafasnya, sepertinya ia harus memilih klub lain selain musik. Lihat saja, niatnya ingin menemui Juni yang merupakan ketua klub musik malah memberi kesan konyol dan memalukan seperti tadi.
Sedangkan Juni yang melihat gadis dihadapannya ini menghela nafas, kembali mempertimbangan keputusannya.
"Pulang sekolah besok lo ke ruang musik."
Gadis itu langsung menatap Juni dengan penuh binar di matanya. "Serius!"
Juni melempar sebuah kunci ke arah gadis itu, untungnya gadis tersebut dengan sigap menangkapnya.
"Lo balik ke sekolah, kunci ruang musik dulu. Besok, sebelum gue dateng ke ruang musik, pintunya udah harus kebuka dan lo ada disana!"
"Siap!" gadis itu menjawabnya dengan girang dan semangat.
Lalu gadis itu berbalik arah kembali memasuki sekolah untuk melaksanakan amanat Juni tadi.
Dan Juni pun berbalik dan berjalan ke arah mobilnya yang masih terparkir. Laki-laki itu tersenyum tipis melihat kelakukan gadis tadi.
###
tbc(bukan penyakit)Samarinda, 31 Maret 2022
13:40 WITA
mathcha