sun day

24 3 0
                                    

Mora menatap sebuah boneka singa kecil yang semalam ia beli bersama Jenggala.

Ya. Jenggala Abhisar.

Laki-laki yang ia kenal melalui Nayra, oh lebih tepatnya dari kakaknya Nayra. Yang sekarang menjadi teman dekatnya bahkan seperti kakak dan adik.

Mora menyukai sikap dari laki-laki berwajah manis itu. Pertemuan yang semesta hadirkan secara sederhana itu membuat Mora merasakan perasaan yang tidak biasa.

Ya, apakah salah jika menaruh harapan pada laki-laki yang berbeda satu tahun dengannya itu? Dinding transparan bertajuk teman itu bisa saja ia robohkan kapan waktu jika Mora ingin mengakui perasaannya.

Tapi sepertinya Mora ingin memastikan perasaan yang masih abu-abu untuk diakui keberadaannya.

Minggu pagi ini akan Mora awali dengan, makan tentu saja. Setelah itu ia akan membantu ibunya membersihkan rumah lalu mengerjakan tugas sekolahnya yang sudah tinggi seperti harapan orang tua.

Tapi itu semua baru rencana.

Tidak tau nanti akan seperti apa akhirnya..

"Mora, bantu Ibu dulu!"

Nah kan, ibunya sudah memanggil.

"Iya, Bu!" jawabnya.

Setelah itu Mora meletakkan boneka singa kecil pemberian Jenggala dengan hati-hati. Lalu perempuan itu keluar kamarnya untuk membantu sang Ibu tercinta.

***

Juni meletakkan gitarnya setelah menyanyikan dua lagu bersama Ella, sepupunya.

"Ngapain lo disini?"

Juni bertanya demikian karena biasanya hari Minggu Ella diisi penuh dengan macam kegiatan keagamaan.

"Gak boleh gue kesini?"

"Gak."

"Dih, kalo bukan karena Om Sandi yang nyuruh juga gue ogah satu ruangan sama lo!"

"Yaudah sana pulang!"

"Anjir lo! Yang sopan, gini-gini gue lebih tua dari lo! Yaa minimal buatin gue jus atau apa gitu."

"Tua aja bangga!" desis Juni namun masih terdengar di telinga Ella.

"Apa lo bilang?! Udah sana buatin gue minum, haus gue!"

"Tuh di depan ada selokan, airnya penuh kemarin habis hujan."

"Gila lo!"

Diam sesaat sebelum Ella kembali membuka obrolan.

"Sekolah lo gimana?"

Juni berdeham pelan sebelum kembali berbicara. "Biasa aja."

Lama sekali ia tidak bicara berdua dengan sepupunya satu-satunya ini. Mungkin terakhir sekitar enam bulan lalu sebelum perempuan itu berangkat ke Berlin untuk melanjutkan studinya.

"Biasa aja? Ngenest banget hidup lo, Jun. Gaada yang menarik dikit gitu?"

"Gak. Lo disini kalo cuman mau jadi wartawan nanya-nanya gak jelas mending pulang. Udah bagus lo pergi dari Indonesia."

"Halah bilang aja lo kangen sama gue! Secara 'kan gue sepupu yang paling--"

"Paling berisik!"

JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang