amarah

15 3 0
                                    

Bagian 11 : amarah

Ada riak amarah yang ingin Juni muntahkan namun melihat keberadaan Mora ia urungkan. Bukan waktu yang tepat untuk mengutarakan walaupun isi kepalanya penuh dengan kata umpatan.

Penilaian sepihak dari sepupunya yang mengatakan bahwa semuanya 'sudah selesai' adalah omong kosong. Dunianya hancur semenjak ibunya pergi.

Ketimbang kalap dan benar-benar meluapkan amarah, Juni memilih melenggang pergi dari rumah. Ia tidak peduli apa yang dilakukan tiga orang itu dalam rumahnya. Ia butuh ruang untuk memanifestasikan seluruh amarah dalam kepalanya.

Juni tak peduli dengan panggilan Ella ataupun sapaan Mora. Raungan semua kata amarah lebih menguasai dirinya sekarang dan tidak ada yang bisa menenangkannya.

Laki-laki dengan kaos hitam putih itu melajukan mobilnya entah kemana. Dimana saja asal bukan dirumahnya sendiri, asal tidak melihat keberadaan orang-orang menyebalkan itu.

Juni membelokkan setir mobilnya, menuju ke sebuah danau yang dulu sering menjadi tempat bermainnya ketika ia sedang tidak baik-baik saja. Seperti sekarang.

Laki-laki itu berjalan ke pinggir danau, duduk dan diam melamun. Ia benci semua rencana semesta, sebab sekarang hidupnya semakin berantakan.

"Ada apa lagi ini?" tanya seorang pria beberapa menit kemudian.

Juni menoleh dan melihat keberadaan Pak Iksan, orang yang ditugaskan untuk membersihkan sekitaran danau ini oleh ayah dan bundanya dulu. Pria yang umurnya setengah abad itu duduk disampingnya, sudah menjadi kebiasaan untuk Pak Iksan mendengarkan seluruh cerita dari anak majikannya ini.

"Biasalah, Pak."

Tampak pria itu menghela nafasnya. "Juni, Bapak mungkin tidak memberi solusi karena Bapak tidak tau perasaanmu. Tapi, apapun itu, selesaikan dengan baik, tanpa amarah, tanpa dendam."

Juni belum menanggapi suara Pak Iksan, dirinya masih kalut, hatinya masih merasa takut. Apa ia akan menyelesaikannya dengan baik?

"Juni sudah makan belum?" Pak Iksan bertanya, mungkin ingin mengalihkan topik yang membuat Juni semakin muram bila dilanjutkan.

"Belum, Pak."

"Ayo makan bersama. Kamu sudah cukup lama tidak kemari."

Juni tidak menolak sebab ia tau jika melakukannya Pak Iksan akan tetap memaksa.

Selanjutnya, ruang makan di rumah Pak Iksan bertambah satu kursi yang diisi oleh Juni. Juni makan dengan khidmat, sangat menikmatinya. Ruang makan ini hanya ada tiga kursi namun semuanya terisi, meskipun hanya tiga orang rasanya sudah ramai dibanding meja makan rumahnya yang punya delapan kursi tetapi hanya dia seorang diri yang duduk disana.

***

Senin pukul 4 sore di ruang musik.

Mora dan Juni ditahan sejenak di ruang musik oleh Bu Sri bersamaan dengan seseorang yang tak mereka kenal. Juni menahan rasa lelahnya sebab kemarin ia pulang terlalu larut dari rumah Pak Iksan, untuk benar-benar memastikan bahwa semua orang telah pulang dari rumahnya. Lagipula ia diajak Pak Iksan untuk memancing di danau dan bertukar banyak cerita, ia lupa waktu karena terlalu menyenangkan.

"Perkenalkan dia Rages, dia akan membantu kalian dalam latihan untuk lomba. Jadi, selama kalian latihan Rages juga akan ikut membantu. Tolong kerja samanya ya."

Mora dan Juni sama-sama mengangguk mengerti, cukup memahami maksud kalimat Bu Sri barusan.

Setelah berbincang beberapa hal penting Bu Sri meninggalkan ruangan bersamaan dengan Rages, yang meninggalkan pesan bahwa mereka mulai berlatih lusa.

Juni ingin ikut meninggalkan ruangan setelah mengambil tasnya namun lengannya ditahan Mora.

"Lo sakit?" katanya dan Juni menggeleng, masih enggan sepertinya berbicara dengan Mora setelah kejadian kemarin.

Perlahan Mora mengangguk dan melepas tangannya dari lengan Juni, membiarkan laki-laki itu keluar ruang musik untuk pulang. Mungkin Juni kelelahan, terlihat dari raut wajahnya sebab sejak ia berkunjung kerumahnya kemarin laki-laki itu seperti terganggu dengan kehadirannya dengan Gala. Entah dimana letak salahnya.

Mora segera menggelengkan kepalanya, ia pun mengambil kunci ruang musik yang Juni tinggalkan di atas meja, Mora mengerti artinya meskipun Juni tak mengatakannya. Perempuan itu keluar ruangan dan menguncinya.

Hari ini Mora pulang dengan angkot Mang Iman kembali, sebab Nayra tak mau menunggunya, Gala yang sibuk dengan tugas sekolah, dan Juni yang tidak menawarkannya pulang bersama.

***

"Juni."

Belum saja Juni menyentuh gagang pintu, suara Gala lebih dulu menyapa indra pendengarnya. Untuk apa laki-laki itu kemari?

Juni menatap Gala dengan sorat mata bertanya, perasaan kesal akibat kejadian kemarin kembali menyeruak dalam dirinya.

"Gue kesini cuman mau kasih ini, sama maaf soal kemarin gue dan Mora dateng kesini tiba-tiba tanpa bilang dulu sama lo." Gala berujar sembari menyerahkan paperbag kartas dihadapan Juni. Entah apa isinya.

Juni masih memandanginya, masih enggan menerima pemberian laki-laki dihadapannya ini. Biasanya selalu Ayahnya yang memberikan semua pemberian Gala padanya, namun sekarang Gala sendiri yang memberikannya langsung.

"Gue tau, semua pemberian gue yang sebelumnya belum pernah lo sentuh sekalipun. Tapi Jun, kali ini aja, kali ini lo terima dan lo buka biar lo tau semuanya. Biar gue gak selalu ngerasa bersalah."

"Sepenting itu emang?" Juni bertanya demikian.

Gala menghembuskan nafasnya. "Terserah lo anggap penting atau enggaknya. Harusnya lo tau itu."

Gala meninggalkan paperbag itu diatas meja teras, lalu ia beranjak pergi meninggalkan kediaman Juni. Gala sudah terlalu jauh meladeni sifat keras kepala Juni yang rasanya sudah jauh sekali dalam batasan sabar yang dipunyanya. Kali ini ia tak akan banyak bicara, biar Juni sendiri yang menganggapnya seperti apa. Jadi, rasanya sudah cukup.

Juni bukan lagi anak usia enam tahun yang tak mengerti benar dan salah. Laki-laki 17 tahun itu harusnya mengerti mana yang benar-benar penting dan tidak. Isi dari pemberian Gala bukanlah hal yang membuat Juni senang, tetapi hal yang membuat Juni mengerti. Mengerti mengapa semesta menghancurkan separuh hidupnya seperti sekarang.

Semua jalan keluar dari teka-teki yang selama ini berusaha Juni pecahkan ada di dalam sana.

Jika tidak ingin membukanya, maka Juni tidak akan pernah mengerti mengapa takdir seperti ini hanya untuknya.

Ya, Gala yakini itu tidak akan.

***



tbc (bukan penyakit)



20 of July 2023
nesywind

JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang