Juni. Laki-laki itu bangun dari tidurnya kala pintu kamarnya diketuk dari luar.
Ia berjalan dan membukanya, terlihat keberadaan Sandikala-Ayah Juni, dengan sebuah paperbag ukuran sedang di tangan kanannya yang sekarang disodorkan di hadapan Juni.
"Apa?" tanya Juni yang masih belum mengerti.
"Dari Kakakmu."
Jawaban dari Sandikala membuat Juni mengerutkan dahinya. "Siapa?"
Sandikala menghembuskan nafasnya. "Jenggala."
"Ayah saja yang bawa."
"Jun, sampai kapan kamu seperti ini? Mereka juga keluargamu. Ayolah, terima mereka sebagaimana mestinya, tidak cukup satu tahun sikap kamu seperti ini kepada mereka?"
Juni tetap diam saja mendengar ucapan Ayahnya, tidak berniat menjawab, apalagi dengan amarah. Juni bukan laki-laki seperti itu.
"Kalau Ayah gak mau bawa, aku juga gak mau terima barang itu."
Pria berkisar umur 30 tahun ke atas itu menghela nafasnya, memilih menyerah untuk putranya yang keras kepala. "Ya sudah, Ayah taruh di tempat biasanya, nanti kalau kamu ada waktu, buka ya."
Juni mengangguk saja. Lalu setelah Ayahnya beranjak dari tempat berdirinya, laki-laki itu langsung menutup pintunya.
Kali ini ia tidak kembali tidur, ia memilih untuk duduk di kursi balkon sambil menikmati suasana malam yang hari ini menampakkan bulan purnama terang.
Dan pas sekali, beberapa meter di seberang rumahnya ada pasar malam yang diadakan seminggu sekali. Tepat di komplek sebelah yang sangat dekat dengan rumahnya.
Juni memilih untuk menuruni tangga rumahnya dan pergi kesana dengan berjalan kaki. Tak lupa mengunci rumahnya yang kosong, karena ia yakin Ayahnya tadi hanya mampir saja.
Juni berjalan dengan kedua tangannya dimasukkannya ke dalam saku hoodie yang ia kenakan.
Ia memandang tempat ramai yang penuh dengan muda-mudi maupun anak kecil sampai orang dewasa disini. Juni berjalan melewati beberapa pedagang makanan dan ia berakhir di sebuah gerobak pedagang sate ayam.
Laki-laki itu membeli seporsi untuk ia makan di rumah nanti.
Sedang asik menunggu sambil melihat sekeliling, netra Juni tidak sengaja menangkap seseorang yang sangat dikenalnya, mereka hanya berjarak beberapa meter saja.
Disana ada Amoura si gadis pecicilan dengan senyum manisnya dan....
Jenggala, kakak tirinya. Ah, rasanya Juni enggan menyebutnya Kakak.
Juni mengamati lekat dua insan yang sedang tertawa bersama entah karena apa itu. Tunggu, tapi harusnya ia biasa saja bukan? Kenapa harus menatapnya lekat? Lagipula ia tidak peduli Jenggala bersama siapa atau Mora yang sedang ada dimana.
Juni mengalihkan pandangannya, menggeleng kecil lalu kembali menatap bungkusan sate yang sudah selesai disiapkan oleh pedagangnya.
Selepas membayarnya, Juni langsung pergi dari tempat keramaian itu, membiarkan wajahnya tersapu angin malam yang semakin dingin, sepertinya bulan purnama malam ini akan digantikan oleh hujan.
Menendang kecil batu kerikil yang tak sengaja ia lewati lalu menapakkan kakinya kembali di bangunan yang disebut rumah. Menyiapkan apa yang seharusnya ia siapkan, lalu setelah itu laki-laki itu harus segera beristirahat karena tubuh dan pikirannya dikuras habis oleh hari ini.
***
Sesuai dengan perkiraan Juni, hujan turun dengan hebatnya semalam. Membuat jalanan kompleknya tergenangi air di beberapa bagian yang tidak rata, dan mobil Juni bergerak melintasi jalanan Ibukota dengan perlahan.