🎭 SEPULUH 🎭

65 46 45
                                    

HAPPY READING

Pintu diketuk berulang kali, namun tak kunjung ada sebuah jawaban. Gadis itu bahkan tak dapat mendengar suara apa pun dari dalam sana. "Robin, bukalah! Aku tahu kau di dalam," teriak gadis itu tak menyerah.

Robin yang telah menelan habis obatnya terlelap tidur di atas tempat tidurnya. Ia sama sekali tak mendengar teriakan dari gadis itu. Ruam merah telah menyebar di seluruh tubuhnya.

Eren menyerah setelah hampir satu jam ia berdiri di sana tak mendapat jawaban apa pun. Gadis itu melangkah kembali. Bunga cantik yang tumbuh di depan rumah itu menghentikan langkah sang gadis. Ia berjongkok di hadapannya dan mengusap lembut kelopak bunga yang mekar itu.

"Smeraldo. Bunga yang cantik," ucap gadis itu.

"Huft." Gadis itu menghembuskan napas kecewa. Setiap matahari terbit ia selalu berharap agar malam cepat datang menemuinya. Ia ingin bertemu dengan pria itu. Tetapi yang terjadi saat ini, pria itu bahkan tidak mau menemui dirinya. Eren tahu jika Robin berada di rumahnya, hanya saja ia tidak tahu mengapa pria itu tidak mau menemuinya.

"Aku hanya dapat keluar ketika malam tiba. Pertemuan kita terjadi hanya ketika malam tiba. Apakah kau akan membuang kesempatan berharga ini begitu saja? Aku berharap dapat bertemu denganmu sebelum matahari kembali terbit," ucap Eren menatap bunga-bunga cantik itu.

Lelah menunggu, gadis itu pun bangkit berdiri. Ia merasa kakinya kesemutan akibat berjongkok terlalu lama. Sekali lagi ia menatap rumah besar yang masih tertutup rapat daun pintunya. Dengan perasaan kecewa dan berat hati, gadis itu melangkah pergi.

🎭🎭🎭

Ketika sinar matahari mulai naik menyinari seluruh penjuru negeri, gadis itu seperti biasa mengurung dirinya di dalam kamar yang gelap. Ia duduk memeluk lutut di atas tempat tidurnya. Mengapa ia tidak ingin menemuiku? Apakah terjadi sesuatu saat aku tidak dapat bersamanya di luar?

Ketukan pada pintu rumah membuyarkan lamunan gadis itu. Ia beranjak dari tempatnya mengambil jubah yang biasa dikenakannya. Kemudian gadis itu pun melangkah untuk menyapa siapa yang bertamu ke rumahnya.

"Selamat siang, Nona Eren. Saya meminta maaf mengganggu waktunya," ucap seorang pria paruh baya dengan suara seraknya khas orang tua.

"Tidak apa-apa. Silakan masuk, Pak Wedi," ucap Eren yang bersembunyi di balik topi jubahnya. Gadis itu membuka pintu rumah sedikit lebar dan mempersilahkan pria paruh baya itu melangkah masuk.

Secangkir teh hangat telah tersaji di meja. Gadis itu mendudukkan dirinya di hadapan Pak Wedi. Ia menurunkan topi jubahnya. "Jadi ada keperluan apa Anda datang kemari, Pak Wedi? Ayah sedang tidak berada di rumah," ucap gadis itu.

"Saya tidak ada keperluan dengan Ki Septo. Saya datang karena memang ingin bertemu dengan, Nona Eren," ucap pria paruh baya itu.

"Bertemu dengan saya?"

"Apakah teman pria Nona Eren yang kemarin tidak datang kembali? Saya telah menunggu kedatangannya, tetapi hingga saat ini ia tidak terlihat di desa ini. Saya hanya ingin memberikan teh hijau nikmat ini sebagai imbalan untuknya," ucap Pak Wedi menyerahkan sekotak teh hijau yang masih utuh kepada Eren.

"Sebagai imbalan? Jika boleh saya tahu, imbalan untuk apa?" tanya gadis itu tak paham.

"Kemarin pria itu telah membantu dan juga mengobati luka saya," ucap Pak Wedi.

"Mengobati?"

"Iya, apakah Nona Eren percaya dengan sihir? Saya seperti melihat sihir kala itu. Apakah pria itu memiliki sebuah kekuatan?"

Do You Like Smeraldo? ✔️ | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang