Naruto melangkah ke ambang pintu masuk. "Hei. Jawab aku sejujur-jujurnya. Bukankah kau anak satu-satunya keluarga Uchiha? Kenapa kau menyebut pria tadi malam kakakmu?"
Sasuke menopang dagunya di atas meja. Dia memandang malas Naruto. "Aku menanti-nanti kapan kau menyadarinya. Butuh sepuluh jam untuk otakmu sadar."
"Jawab saja pertanyaanku."
"Giliranku yang bercerita sekarang?"
"Jawab saja yang kutanyakan!"
"Kau ini tidak sabaran. Begini. Sebelum dijodohkan dengan ibuku. Ayahku memiliki kekasih tercinta. Yah, mereka begitulah, lalu kekasihnya hamil, keluarga ayah tidak setuju terus—"
"Aku tebak wanita ini status sosialnya tidak sama dengan keluarga ayahmu makanya mereka tidak setuju lalu berusaha menjodohkannya dengan pilihan mereka, yaitu ibumu. Intinya, pria tadi malam itu saudara tirimu."
"Seratus untukmu."
"Aneh. Media tidak mencium fakta ini."
"Ayahku dan kekasihnya berpisah baik-baik. Bahkan wanita itu sekarang sudah menikah. Tidak ada yang mengadu atau membocorkan, tidak ada yang akan tahu. Kecuali kau berniat."
Naruto membayangkan pundi-pundi uang yang akan didapatkan jika dia menjual gosip ini. Tapi, tanpa bukti rasanya mustahil ada yang akan percaya. "Tapi, kenapa kau bilang kandung?"
"Meski hanya saudara tiri, dia sudah tinggal bersama ayah dan ibuku sebelum aku lahir. Kami besar bersama-sama. Wajar kalau aku menganggapnya sebagai kakak kandungku."
"Ibunya tidak mau merawatnya?"
"Kau ingin tahu versi detailnya?"
"Lupakan. Tidak penting juga." Naruto menginjak kecoa yang lewat dengan kakinya.
"Menjijikkan."
"Akan lebih menjijikkan kalau hewan ini beranak dan anak-anaknya berkeliaran di seluruh rumahmu."
Sasuke memasang muka jijik.
Naruto tersenyum miring. "Cepat beritahu aku apa permintaanmu. Dia mengoyak kertas kalender, menggunakannya untuk memegang kecoa dan membuangnya di tong sampah. Dia berjalan terpincang-pincang, lalu mengoyak selembar kalender lagi untuk membersihkan kakinya.
"Cuci kaki sana. Kau tidak tahu parasit apa yang bersarang di kakimu sekarang."
"Nanti saja sekalian mandi. Cepat beritahu aku apa permintaanmu."
Sasuke tersentak seolah dikejutkan. "Ah, iya. Jadi, begini... meski sudah meninggal satu tahun yang lalu, ibuku masih dirundung kesedihan sepeninggalanku. Dia tidak mau makan, keluar rumah. Aku khawatir. Tubuhnya semakin kurus."
"Kau ingin aku menemuinya, mengetuk pintu, dan berkata, 'Sasuke tidak ingin melihatmu sedih, nyonya, kumohon semangat deminya.' Begitu?" Naruto mendengus. "Maaf-maaf saja, ya. Kau pikir bertemu dengan ibu negara semudah membunuh kecoa?"
"Astaga dengarkan aku dulu, dobe!"
"Memangnya apa?"
Kelopak mata Sasuke turun. Dia menekuri lantai dan berkata dengan pelan, "Saat sendiri di dalam kamar. Ibuku akan menangis sambil memeluk fotoku dan berkata, 'maaf... maafkan ibu, Sasuke. Anakku yang malang. Ibu tidak berguna, andai saja...' kalimat itu yang sering diucapkannya. Lalu, pernah dia berkata, "mereka akan membayarnya. Semuanya. Tunggu ibu anakku, sayang."
Naruto berhenti mengetukkan jarinya di meja.
"Bagaimana menurutmu? Aku khawatir setengah mati. Apa maksud ibuku? Mereka siapa? Apa yang harus dibayar? Kata-kata terakhirnya seolah ingin menyusulku. Aku curiga bahwa aku tidak mati karena bunuh diri. Kau harus membantuku, Naruto!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You and Goodbye
FanfictionNaruto berdiri di atas jembatan, tiba-tiba seorang pria asing menariknya jatuh hingga kepalanya terbentur. Dari sanalah akar permasalahan. Kepalanya yang terbentur membuat Naruto bisa melihat sesosok hantu. Dia ketakutan setengah mati. Apalagi si ha...