2

193 24 0
                                    

Tragedi yang menimpa keluarga Presiden mengguncangkan Konoha. Kematian dan pemakaman anak tunggal, Uchiha Sasuke, diberitakan liputan pers secara besar-besaran mengalahkan peristiwa kelahirannya. Dunia berduka. Rakyat tidak percaya pemuda yang digadang-gadang akan menjadi seperti ayahnya ketika dewasa, meninggalkan dunia begitu cepat karena bunuh diri. Pemuda yang terkenal dengan sopan santun, kerendah hatiannya, dan murid berprestasi di sekolah, harus meregang nyawa di lingkaran tali.

Naruto ingat bagaimana hancurnya sang ibu, Uchiha Mikoto, di pemakaman Sasuke. Kehilangan anak satu-satunya. Mikoto tidak mampu berdiri sendiri tanpa dibantu orang sekitarnya. Sementara Uchiha Fugaku, tertangkap kamera sesekali menghapus sudut matanya dengan sapu tangan.

Orang-orang berkomentar di internet bagaimana tabahnya Fugaku, betapa kasihannya Mikoto, dan konspirasi-konspirasi tidak masuk akal lainnya menyangkut kematian mendadak Sasuke.

Siaran berita menayangkan berita kematiannya tanpa henti selama enam hari berturut-turut, sehingga Naruto tidak pernah membuka televisinya lagi selama waktu itu. Dia merasa kasihan pada Fugaku dan Mikoto, tapi lama-lama itu semakin menyebalkan. Ya. Anak emas telah pergi selama-lamanya. Terus, apa yang di harapkan oleh para stasiun televisi? Rakyat mengurung diri dan menangis di balik selimut? Bahkan Fugaku tetap menjalankan tugas keesokan harinya seusai pemakaman.

Saat itu, sama sekali tidak terbayangkan oleh Naruto kalau dia akan bertemu dengan sang putra tunggal Presiden—dalam wujud tak kasat mata. Dia tidak mempunyai sosial media. Menonton televisi hanya sebatas film tengah malam. Jadi, dia tidak pernah melihat wajah sang anak presiden. Tidak peduli juga. Dia hanya pernah mendengar pelanggan perempuan di tempat kerjanya bergosip tentang ketampanan Sasuke dan menghayal menjadi menantu Uchiha.

"Kau tahu juga tentangku. Kau tidak sebodoh yang kukira. Mana ada sih orang yang tidak mengenalku walau wujudku begini." Perkataan Sasuke amat sombong. Naruto mengira-ngira bagian mana dirinya yang rendah hati dan sopan. Tapi, yang paling mengunggah rasa penasarannya adalah alasannya bunuh diri.

Kenapa?

Hidupmu tidak bahagia?

Lebih buruk mana denganku?

Ternyata memiliki segalanya tidak menjamin.

"Maaf saja ya. Aku punya kehidupan sendiri. Bukan gadis kelebihan hormon yang menyimpan seratus fotomu di ponsel."

"Ada yang begitu ya?" Sasuke mencubit dagunya dengan pose berpikir. "Aku seterkenal itu rupanya." Dia terkekeh.

"Bantuan apa? Kau kelihatannya bahagia sekali menjadi hantu. Eh... tidak. Jawab ini dulu. Kenapa kau bunuh diri? Hidupmu tidak bahagia ya?" Naruto tahu tidak sopan menanyakannya pertanyaan ini. Tapi, yang dia tanyakan ini sesosok hantu, bukan manusia. Segala tata krama dalam masyarakat tentu tidak berlaku untuk makhluk halus.

Sasuke terdiam. Keningnya berkerut. "Aku... tidak ingat. Maksudku aku tahu namaku, keluargaku, dan kehidupan sebelumnya. Tapi, aku tidak tahu alasanku melakukan bunuh diri. Aku—"

"Eiit!" Naruto mengarahkan telapak tangannya ke depan. Dia tidak mau menjadi tempat sesi curhat hantu. "Aku cuma tanya alasanmu. Jika tidak ingat, ya, sudah. Tidak usah dilanjutkan." Naruto memberikan senyum terpaksa, berbalik mengambil kain lap, kemudian membersihkan tumpahan mulutnya. Meski membelakangi, dia bisa merasakan tatapan Sasuke yang menusuk punggungnya. Apa dia terlalu kejam? Ah, masalahnya saja sudah menumpuk, masa harus menampung curhatan hantu.

"Bantu aku."

Naruto memutar keran air, membilas kain lap di bawah pancuran air. Memelintir kain lap lalu mengelap lagi tempat yang terkena tumpahan.

Thank You and GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang